Minggu, Februari 24

Gunongan Lambang Cinta dan Keagungan

Gunongan dan Kandang situs sejarah yang terletak di jantung Kota Banda Aceh

Dari kejauhan bangunan itu terlihat seperti angkasa, awan yang bergelombang. Menara menjulam bangaikan pohon besar dengan akar yang bersila, pada batang yang bersandar. Dahan tempat bergantung helaian daun sebagai tempat berteduh. Bunga putih yang melambangkan ketulusan cinta. Dindingnya berukir salu-salur bunga dengan untaian cinta yang bertambat dalam jiwa. Bunga itu bagai Padwa raksasa, bunga teratai yang melambangkan kesuburan seorang wanita. Sebuah bangunan klasik monumental yang melambangkan kesabaran cinta. Ia terletak di Jantung Kota Banda Aceh.

Begitulah seorang lelaki mendiskripsikan cintanya pada kekasih hati dengan sebuah bunga raksasa yang kita kenal dengan Gunongan. Ia seorang sultan yang romantis dan menjadi pelindung permaisuri dan rakyatnya. Terlihat dari kesatuan bangunan cinta yang dipersembahkan untuk seorang putri yang sedang bersedih karena jauh dari kampung halaman. Begitulah yang didiskripsikan tentang Gunongan dalam kitabnya Bustanul Salatin yang dikarang oleh Syaikh Nuruddin al Raniri.

“Jika kamu ingin mengungkapkan cinta, katakanlah dengan bunga” Itulah yang dilakukan Sultan Iskandar Muda untuk membuat Putroe Phang, dengan nama asli Kamaliah untuk membuat ia senang dan gairah tinggal di Aceh. Gunongan dibangun untuk menghilangkan kesedihan yang dialami istrinya yang teringat kampung halaman, Pahang. Saat itu Pahang takluk ditangan Sultan Iskandar Muda dan ia membawa pulang seorang putri ke kerajaan Aceh.
“Gunongan itu seperti replika gunung di Pahang untuk menghapus kerinduan putri Pahang,” ujar Azhari, pemandu wisata yang berkerja di komplek Gunongan.

“Bentuk Gunongan ini memiliki unsur kemewahan yang melambangkan keagungan dan keindahan,” ujar Rusdi Sufi, Sejarawan Aceh yang berkantor di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh. Menurutnya, materi bangunan Gunongan ini terbuat dari batu gamping, pasir dan kapur perekat. Mitos yang beredar diantara orang aceh adalah Gunongan ini perekatnya dari telur yang dibawakan oleh rakyat Iskandar Muda waktu itu.

Disisi barat terdapat sungai Darul Asyiki yang kita kenal dengan krueng Daroy. Lambang sungai dan gunung dalam mitologi Hindu merupakan Lingga dan Yoni. Kejantanan dan Kewanitaan. Diantara sungai dan gunongan terlihat sebuah batu berukir dengan motif lela masyhadi yang disebut batu Petarana. Disinilah tempat putri keramas. Menurut Syahrial, Batu Petarana adalah salon jaman dulu. Setelah mandi disungai, putri biasanya akan menaiki gunongan untuk berjemur.

Gunongan adalah asal kata gunong dan akiran “an” yang berarti seolah-olah. Gunong adalah gunung, jika disatukan menjadi kata ‘seperti gunung’. Replikasi gunung bertingkat tiga dengan bentuk octagonal yaitu segi delapan dengan ketinggian 9,5 meter. Pintu masuk yang rendah dan harus menunduk. Menunduk merupakan pengungkapan rasa hormat dan harus selalu merendah sebagai manusia.

Menurut Azhari, bentuk pintunya seperti jangkar kapal, yang menandakan sultan memiliki prajurit laut. Untuk naik keatas gunongan, harus melalui tangga atau trap yang melingkardan sempit. Simbol melingkar dan sempit ini adalah perjalanan manusia untuk menuju kemuliaan harus melalui cobaan, godaan dan rintangan. Pintu masuk ini dinamakan pinto Tangkop Perak.
Pada tingkat tiga terdapat teras yang dihiasi bunga teratai yang mekar seperti tempat duduk. Teratai tersebut terletak disetiap sudut teras Gunongan. Putri akan melihat pemandangan ke arah Medan Khairani atau Khayali (Taman Istana). Medan atau padang yang luas ini telah beralih fungsi menjadi Kerkoft, kuburan Belanda.

Terdapat menara berbentuk kelopak bunga seperti permata melambangkan kejayaan. Disetiap puncak gelombang Gunongan di tingkat dua dan tiga terdapat kuncup bunga melati. Namun dalam buku The Richly of Aceh menyebutkan bunga pada puncak menara Gunongan adalah bunga matahari yang melambangkan seorang putri raja.
Sementara itu, dalam buku Arabesk mengatakan bahwa bangunan Kandang banyak dipengaruhi oleh Cina, sedangkan Gunongan menonjolkan pengaruh Hindu.

Setelah putri puas berada di Gunongan, ia akan turun dan masuk ke Kandang, tempat makan dan bermain yang terletak di belakang Gunongan. Kandang ini memiliki ketinggian 2 meter, dengan tebal dinding 45 centimeter. Di pintu masuknya terdapat simbol bunga Jeumpa. Bunga Jeumpa merupakan simbol seorang sultan yang megah dan namanya harum, dikenang oleh rakyatnya.

Terdapat 12 kuncup bunga mengelilingi dinding kandang. Dinding stilirisasi salur-salur bunga dengan bentuk belah ketupat dan segituga umpama mega yang berarak dan berbunga. Kandang ini juga dinamakan sebagai Balai Kembang Cahaya dimana tempat makan keluarga raja ketika mengunjungi Gunongan.
Kini kandang tersebut telah menjadi kuburan Sultan Iskandar Tani yang pernah memerintah pada tahun 1636 - 1641 M. Ia adalah seorang Malaysia yang menjadi menantu dari Sultan Iskandar Muda, suami dari Sri Ratu Safiatuddin Sri Tajul Alam.

Tak terlihat ada nisan yang berukir di dalam Kandang ini. Menurut penjaga Gunongan, setelah Belanda datang, nisan itu memang sudah tak ada lagi. “Pernah digali kuburannya, ada permata di sisi keranda sultan Iskandar Tani, sekarang permata itu sudah berada di Musem Aceh dan Jakarta,” ujar Syahrial, penjaga komplek Gunongan.

Keseharian Syahrial menunggu wisatawan datang dan menjelaskan sejarah tentang Gunongan. Kompleks yang terletak di jalan T. Umar ini, berada dibawah tanggung jawab Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3). BP3 merupakan unit pelaksana teknis dari Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia yang berada di daerah.

Setiap bulan Juli dinding Gunungan dan Kandang akan dicat ulang. “Biasanya dicat setiap tahun, sebelum 17 Agustus,” ungkapnya. Dengan Luas 2 Ha lebih, komplek ini dijaga oleh tiga orang dengan pembagian jadwal jaga. Sungai Daroy pun kini sudah berada diluar tembok, pagar kompleks Gunongan. Terdapat sebuah museum di pekarangan kompleks ini. Didalam Museum terpajang beberapa perlengkapan perang melawan Belanda dan beberapa guci yang ditemukan di beberapa situs sejarah di wilayah Aceh.

Setiap harinya komplek ini ada saja kedatangan tamu dari luar Aceh. “Kebanyakannya yang datang orang Malaysi,” ujarnya. Namun Syarial dan Azhari mengaku, terkadang ada juga dalam sehari tidak ada yang berwisata ke Gunongan ini. Anak sekolah juga tidak pernah terlihat datang walaupun dari Banda Aceh. Masih jarang penduduk Aceh yang datang ke Situs Budaya ini walaupun terletak di jantung Kota Banda Aceh ini.

0 komentar:

Posting Komentar