Aku selalu bercerita tentang
kopi, sepatu, pohon dan senja. Mereka semua analogi dari laki-laki yang ikut
mengisi hatiku. Paling tidak sedikit saja seperti ikan. Biasanya tokoh yang kubuat memiliki
ketergntungan bagi kita, manusia. Tapi mereka tidak hanya menjadi objek saja. Filosofi
juga harus benar-benar mewakili sifat seseorang yang aku maksud.
Tapi aku menemukan seseorang yang
tidak mengisi hatiku, sampai saat ini. Dia teman bermain dan belajar. Dialah
orang yang selalu mengikuti perkembanganku dengan sejumlah laki-laki yang
mengisi hati tadi. Ada sedikit kehilangan kalau tidak dapat bertemu dengannya. Aku
pula orang yang menemani kegalauannya dengan perempuan yang dekat dengannya. Ya..
kami bisa dibilang kawan curhat.
Dia bukan kategori kopi dengan
karakter kuat. Bukan pohon yang bersifat pelindung dan bijak. Bukan sepatu yang
aku butuhkan, bukan senja yang menjawab doa-doa. Dan bukan ikan yang bermain di
dalam akuariumku.
Dia teh. Jenis teh kelat manis
yang harus diseruput di pagi hari. Dia tak memberi efek kafein yang berbahaya. Dia
bagian dari pagi. Penyemangat menyambut hari. Penghangat dikala hujan. Sahabat saat
menulis. Dan teman insomnia.
Tepat hari ini, saat hujan
rintik-rintik dan mendung menggelantung di awan, kami selisih paham. Aku sadar,
akhir-akhir ini ego lelaki-nya muncul begitu saja. Apalagi di depan
teman-temannya, yang cowok. Dia bukan orang yang dulu meladeni lawan bicaranya.
Kini dia bicara dengan keinginan sendiri. Mungkin aku salah. Dia pergi mengejar
senja, aku pulang diantara gerimis. Hingga mendung ini semakin mendratisir
kesedihanku.
Yang harus aku tanyakan mengapa
aku merasa sedih? Aku selalu berjalan sendiri tanpa kawan dekat. Padahal aku
sudah terbiasa, harusnya tak menjadi masalah hanya gara-gara hujan. Lucunya aku
sempat terfikir untuk punya niat untuk kawin (apa?). Karena aku tak punya lagi
teman. Satu-satunya kawan yang selalu ada saat aku kehilangan hanya teh kelat manis
ini.
Kini rasa teh tak lagi manis. Kelat
tanpa gula, ia melupakan rasa. Senada dengan
langit gelap, antara mendung dan matahari yang terbenam. Kalut ini semakin lengkap
saat bunga sedap malam menusuk penciuman. Bau tajam bunga ini terlalu mistik
untuk dinikmati. kala senja dan saat sedih. Terlalu mendekat kepada kematian
rasaku.
Aku sadari sejak dulu. Orang terdekat
memang selalu meninggalkanku dengan cara-cara yang berbeda. Ada yang kuliah ke
Belanda. Ada yang meninggalkan aku kawin dengan brondong. Ada juga yang sibuk
ngurusin anak. Ada juga yang sedang mencari jati diri sambil menunggu tunangan
selesai kuliah. Soulmate itu mungkin hanya boleh dinikmati sebentar. jika kelamaan
akan hambar. Kalau selalu dekat akan mengurangi rasa.
Aku menganggap semua manusia di dunia
ini punya kehidupan masing-masing. Mungkin aku tak bisa masuk, atau mereka
ingin privasi dari orang seperti aku. Mereka punya kesibukan yang tidak ingin
diganggu.
Atau aku yang ego tak ingin masuk
bersamaan dengan orang lain. Waduh…. Aku kok posesif ya. Jadi kangen pengen
ngeteh manis.
Mungkin aku harus menjadi jahe
agar ia tak bosan hanya dengan rasa manisku saja. Atau aku harus menjadi mint,
agar teh memiliki dua kepribadian, dingin dan hangat. Mungkin aku harus menjadi
jeruk nipis untuk menemani peminum yang radang tenggorokan. Atau menjadi susu
yang akan membuatmu mual.
Tetapi aku selalu ingin menjadi
madu, menjadi pemanis untuk teh. seperti gula yang sudah tak disukainya. Pemanis
adalah aku, menjadi diri sendiri saat berfungsi menjadi teman sejati untuk teh.
Jika menjaadi pemanispun tidak. Aku
bersedia menjadi es yang mendinginkan panasmu. Menjadi biskuit yang turut
menemani kebersamaanmu. Atau aku harus menjadi senja, saat kau minum, aku abadi
dalam rasa kelat yang hangat?