Siang itu, saya baru keluar dari mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Lalu-lalang kaki melangkah, baru saja bubar dari shalat
berjamaah zuhur. Saya duduk di tangga mesjid mengenakan sepatu. Pemandangan di
badan jalan setapak sisi tangga, terlihat ada sekitar delapan peminta sedekah. Semuanya tuna
netra. Padahal tadi saat azan dan wuduk, mereka belum ada di lokasi pekarangan
mesjid.
Lalu seorang lagi tuna netra datang dari arah gerbang (bukan dari dalam mesjid), ia tiba di ujung
tangga menggunakan tongkat alumunium meletakkan sendal dengan rapi. Ia duduk
bersila di atas sendalnya. Membuka sebuah plastik, mungkin bekas permen,
seukuran satu kilo. Ia mulai melipat ujung plastik yang kini menjadi sebentuk
kantong. Agak terlambat.
Bismillahirahirahmanirrahim... Ia memulai
doa, hanya lelaki ini yang bersuara sambil berdoa, sementara yang datang lebih awal tidak. Lelaki tuna netra lain dan seorang wanita tua hanya menadah timba dan tangan kepada yang lalu-lalang. Ada juga yang hanya komat-kamit atau menggerakkan badan.
Tak jauh dari tempat persilaannya, terpaku seorang bapak usia setengah
baya. Ia memandang gerak gerik semua peminta di halaman samping mesjid ini. Bukan
hanya saja, mungkin dia pun sedang mengumpulkan tanda tanya. Mereka dari mana
saja.
Lelaki paruh baya ini mengenakan baju
teluk belanga, yang akan hanya digunakan lelaki Aceh saat hari jumat. Bersandar
pada pagar pembatas taman yang hanya ditumbuhi palem dan rumput. Keningnya berkerut,
kedua ujung bibirnya menurun dan tatapan sayu pada lelaki yang bersila.
Lalu seorang wanita dan dua orang anak
kecil menghampiri. Mereka bersalaman dan menciumi punggung lelaki paruh baya
ini. Ia mergoh uang pecahan dari kantong celana kainnya. Dari jaraj tiga meter
saya melihat uang kertas asing disisihkan ke kantong celana sebelah kiri. Sisanya
uang Rupiah pecahan sepuluh ribu.
"Bagi kat atok tu," katanya
sambil menunjuk dengan sedikit gerakan dagu. Anak-anak itu lalu berjalan tiga
langkah memasukkan pecahan merah ke dalam kantong plastik milik si pembaca doa. Keluarga
ini lalu melangkah dan menghilang diantara kerumunan.
Saya juga ikut merogoh kantong, hanya ada
pecahan receh, dua keping lima ratus rupiah. Cukup buat parkir. Huff.. Saya tak
mampu berbuat apa-apa.