Jumat, November 22

Wisata Reliji dan Peminta

Siang itu, saya baru keluar dari mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Lalu-lalang kaki melangkah, baru saja bubar dari shalat berjamaah zuhur. Saya duduk di tangga mesjid mengenakan sepatu. Pemandangan di badan jalan setapak sisi tangga, terlihat ada sekitar delapan peminta sedekah. Semuanya tuna netra. Padahal tadi saat azan dan wuduk, mereka belum ada di lokasi pekarangan mesjid. 

Lalu seorang lagi tuna netra datang dari arah gerbang (bukan dari dalam mesjid), ia tiba di ujung tangga menggunakan tongkat alumunium meletakkan sendal dengan rapi. Ia duduk bersila di atas sendalnya. Membuka sebuah plastik, mungkin bekas permen, seukuran satu kilo. Ia mulai melipat ujung plastik yang kini menjadi sebentuk kantong. Agak terlambat.

Bismillahirahirahmanirrahim... Ia memulai doa, hanya lelaki ini yang bersuara sambil berdoa, sementara yang datang lebih awal tidak. Lelaki tuna netra lain dan seorang wanita tua hanya menadah timba dan tangan kepada yang lalu-lalang. Ada juga yang hanya komat-kamit atau menggerakkan badan.

Tak jauh dari tempat persilaannya, terpaku seorang bapak usia setengah baya. Ia memandang gerak gerik semua peminta di halaman samping mesjid ini. Bukan hanya saja, mungkin dia pun sedang mengumpulkan tanda tanya. Mereka dari mana saja.

Lelaki paruh baya ini mengenakan baju teluk belanga, yang akan hanya digunakan lelaki Aceh saat hari jumat. Bersandar pada pagar pembatas taman yang hanya ditumbuhi palem dan rumput. Keningnya berkerut, kedua ujung bibirnya menurun dan tatapan sayu pada lelaki yang bersila. 

Lalu seorang wanita dan dua orang anak kecil menghampiri. Mereka bersalaman dan menciumi punggung lelaki paruh baya ini. Ia mergoh uang pecahan dari kantong celana kainnya. Dari jaraj tiga meter saya melihat uang kertas asing disisihkan ke kantong celana sebelah kiri. Sisanya uang Rupiah pecahan sepuluh ribu. 

"Bagi kat atok tu," katanya sambil menunjuk dengan sedikit gerakan dagu. Anak-anak itu lalu berjalan tiga langkah memasukkan pecahan merah ke dalam kantong plastik milik si pembaca doa. Keluarga ini lalu melangkah dan menghilang diantara kerumunan. 

Saya juga ikut merogoh kantong, hanya ada pecahan receh, dua keping lima ratus rupiah. Cukup buat parkir. Huff.. Saya tak mampu berbuat apa-apa.


Senin, November 18

Mengulum Rindu

Aq lagi diantara semburat senja
Antara langit biru merah dan jingga
Bahkan matahari punya batas daya
Indah memang

Alam ini indah dengan siklus dan keteraturannya..
Matahari yang sangar dan tegas
Lalu bulan yg kemayu dan melayu
Ditambah Bintang agar bulan tak sendiri dalam malam.. Dalam kelam..

Dan Allah menciptakan alam ini dengan penuh keseimbangan dan kesempurnaan
Maha besar Allah
Untuk segala ciptaan dan yang dikehendakinya..

Rabu, November 13

Cinta Tak Selalu Warna, Ia Butuh Rasa


Jika hati ibarat segelas air. Masing-masing kita membawa sesuatu untuk dilarutkan ketika menemuiku, Kau membawa gincu dengan warna kesukaanku. Merah, kau bilang agar cerah seperti hatiku. Penuh gairah. Kau mengaduk warna buatan itu dalam gelas air putihku. Seketika hati menjadi ranum, menyala. Saat itu memang hidupku berwarna. Setiap bertemu aku menagih rindu pada warna mirahhu itu padamu. Gairah itu hanya ada ketika kau membawa warna dan aku meminumnya tanpa rasa.


Giliranku menuangkan sesuatu dalam gelas kaca di hadapanmu. Aku tak membawa warna yang menikmatkan mata. Aku membawa segenggam garam untuk air putihmu. Aku tau kau tidak tertarik terhadap warna. Kau bilang warna hanya penilaian pada pandangan pertama. Kini aku membawa rasa untukmu. Hanya sesendok garam kularutkan dalam hatimu.
Agar rasa asinnya kau ingat, kau kecap rasaku mengaduk hatimu. Agar kau tau, aku ada bukan untuk dinikamati mata. Tetapi indra yang lain seperti lidah dapat mengantarkan rasa asin lewat saraf menuju ke otakmu.

Ingatlah aku dalam setiap rasa asin yang kau jilati. Saat engkau mengecapi hujan, aku sering bercampur dengan keringat saat kau lelah. Saat itu, rasaku tetap ada.
Aku akan wujud dalam rasa tangismu, saat kau sedih meratapi kesendirian tanpa kasih. Akupun ada dalam rasa air matamu.

Asin rasa kecapan pertama saat kau masih bayi yang diperkenalkan orang tuamu. Aku ada bahkan saat kau baru mengenal dunia.

Meski aku penyuka warna, namun aku butuh rasa yang akan kau larutkan dalam cinta berwujud gelas dan semurni air putih. kau tanpa aku bagai sayur tanpa garam. []

*Gincu dan garam, pesan Bung Hatta kepada pemuda Indonesia.