Ngeten burung alias bird watching
adalah hobi baru dikalangan fotografer yang menyukai wildlife. Komunitas
inilah yang berjasa mendata burung di kawasan Banda Aceh dan Aceh Besar. Fotografer merupakan
penggiat alam bebas ini akan berkamuflase ke poin kawasan permainan burung pada
bulan April hingga Agustus. Musim peralihan ini, Aceh akan kedatangan burung
migrasi yang menambah keanearagaman satwa.
Aceh Wildlife Photographer atau
AWP adalah nama komunitas ini, yang kebanyakankan memotret burung dari pada
satwa liar lainnya. Lewat sosial media, fotografer ini memperkenalkan burung
hasil jepretan mereka. Mereka tidak hanya menikmati hasil foto, mereka juga
mempelajari suara burung untuk mengetahui spesies dan perilaku.
Tibang dan Syiah Kuala merupakan
kawasan tempat burung berkumpul khususnya burung migrasi. Di sinilah para
fotografer berkamuflase saat musim peralihan. Bulan April hingga Agustus
biasanya, Banda Aceh akan kedatangan burung migrasi. Bulan ini adalah musim
peralihan, antara musim hujan dan kemarau burung-burung berdatangan dan tinggal
di kawasan pesisir.
Diantaranya terdapat Kuntul, king
fisher, kokokan laut adalah jenis burung yang sering beterbangan di hutan kota Banda Aceh. Sementara luar Banda Aceh, dimana pasukan AWP memotret burung
endemik Sumatera.
Bukan hanya AWP, Cicem Nanggroe
sudah eksis sejak 2008 pengamatan biodiversiti untuk mendokumentasikan keragaman
burung yang ada di Aceh. LSM ini awalnya juga kumpulan penyuka burung yang kemudian
serius mengumpulkan data burung Aceh.
Selama ini Cicem Nanggroe hanya
melakukan survey untuk data per lima tahun. Tugas LSM ini melakukan penelitian,
publikasi dan kampanye. Meskipun begitu, masih sedikit pengamat burung di Aceh,
karena setiap lima tahun semua data harus di-resecrh ulang untuk mengetahui penambahan dan
pengurangan spesies burung di Aceh.
Hutan menjadi indikator bahwa
keberlangsungan spesies burung tertentu seperti Rangkong. Jenis ini akan berkembang biak dalam
pohon besar yang dilubangi. Ketika pohon besar tidak ada, spesies ini terancam
punah. Status hutan di Banda Aceh dapat dilihat dari struktur vegetasi yang
tidak beragam pohon akan penyebab sedikitnya jenis spesies burung. Meskipun
burung sangat berkontribusi dalam penyebaran benih pohon, burung juga butuh
hutan untuk berkembang biak. Meskipun tugas utama burung membawa benih tumbuhan untuk penyebaran pohon, ia juga butuh pohon.
“Burung ini, melakukan migrasi dari luar Aceh
yang diprediksikan oleh pengaruh angin, bukan faktor pohonnya saja,“ kata Agus Murja, pendiri
Cicem Nanggroe.
Ia bersama beberapa pecinta
burung lainnya, mengkampanyekan keberlangsungan burung di Aceh.
Sejak dulu,
masyarakat Aceh mengenalkan burung kepada generasi dalam hikayat. Seni bertutur
ini hanya melestarikan nama dan perilaku burung, tapi generasi sekarang tidak
lagi mengenal burung ini. Hanya penduduk yang berkegiatan di dalam hutan yang
masih mendengar keindahan suara burung Cem Pala Kuneng, yang menjadi kebanggaan
rakyat Aceh. Namun hanya tinggal nama, tidak ada orang yang tau bagaimana
keindahan suara dan cantiknya bulu si Pala Kuneng sebenarnya.
Padahal, menurut Agus, burung ini
disebut burung Sunda, yang pertama ditemukan peneliti di Sunda. Cem Pala Kuneng
masih satu genus dengan Murai Batu, Trichixos Pyirropygus. Padahal orang Aceh
menganggap burung mungil ini endemik.
Seiring waktu, hutan telah dieksplorasi
lebih dalam, burung endemik dan langka semakin jauh dari kehidupan manusia.
Meskipun pemerintah berusaha
membuat kota Banda Aceh menjadi kota terbuka hijau, namun spesies burung belum
begitu banyak bertambah. Keragaman jenis hutan berpengaruh untuk didatangi
burung-burung, tapi belum ada publikasi jenis burung untuk warga dalam rangka
kampanye dan penyebaran informasi keaneragaman burung.
Pemerintah kota pernah
memaparkan ada 100 spesies burung di Banda Aceh saat ini. Info tersebut dikatakan oleh Wakil Walikota Iliza Saaddudin
dalam sebuah acara lingkungan. Hanya seremoni, tidak ada program lanjutan untuk
pelestarian pohon dan burung. Kota Banda Aceh berusaha mempertahankan penghargaan
kota hijau lewat hutan kotanya. Tahun 2013, Banda Aceh terpilih sebagai kota terbaik III
Se-Indonesia, setelah Pekalongan dan Balikpapan. Banda Aceh juga meraih
penghargaan kota dengan kualitas udara terbaik dari Kementerian
Lingkungan Hidup dari Kementerian Pekerjaan Umum
(PU).
Data Cicem Nanggroe lima tahun terakhir mendata bahwa Banda Aceh memiliki 40 spesies lebih. Dominan jenis kuntul
pantai dan Meurebah Cerucuk yang hinggap di semak-semak. Data ini sangat kontras
dengan informasi yang dilakukan pemerintah.
Namun para pengamat burung yang
berdomisili di Aceh, khusunya Banda Aceh tidak tinggal diam. Dengan sekedar
hobi, mereka telah mendokumentasikan dan melestarikan keberadaan burung dengan
cara masing-masing.
Aceh birder misalnya, sebuah
ekotur sejenis wisata lingkungan yang mengajak pecinta burung untuk melakukan
wisata alam. Tahun ini Aceh Birder mengajak wisatawan mengunjungi spot di Gayo
Hiland. Dengan mengeluarkan biaya 400 dolar selama tiga hari untuk wisatawan asing khususnya.
Dengan Tema Holistik Sumatera,
biasanya tamu dibatasi hanya lima orang agar tidak menganggu kenyamanan burung
saat pengamatan. Wisatawan yang dipandu
Aceh Birder adalah warga asing yang ingin mencoba wisata petualang dan
ilmu sains. Belum ada wisatawan lokal atau Indonesia yang meminta wisata ini.
Mereka mengakui promosi masih sangat kurang dengan hanya mengandalkan sosial
media. Biasanya yang menjadi langganan menggunakan jasa guide adalah para
peneliti dan ahli burung yang datang dari manca negara.
“Penggila burung dipanggil
twitcher ini yang mau datang jauh-jauh untuk pengamatan burung. Pengamat ini
terobsesi untuk melihat semua jenis burung di dunia,” ujar Agus.
|
Blue-throated Bee-eater |
Menurut Agus, masalah
terkendalanya publikasi selama ini karena burung hanya menjadi target ilmiah.
Para peneliti tidak berkeinginan untuk melakukan publikasi kepada masyarakat.
“Tugas peneliti bukan publikasi,” ungkap Agus.
“Terkadang ada baiknya tidak
dieksplor ketika sesuatu indah dan baik, maka manusia akan mengeksplor dan
menjadikan burung target,” jelas Agus. Keindahan burung yang ada di Indonesia menjadi sasaran
penikmat burung. Komunitas Love Bird berusaha memiliki dan menyangkarkan burung
dengan menikmati suara dan tingkah laku si burung di rumah mereka.
Burung dalam sangkar ini
kebanyakan menjadi jagoan dalam pameran dan lomba kicau burung. Kegiatan ini
sendiri disponsori oleh pemerintah. Ekplorasi ini biasanya mendapat dukungan penuh dari oleh Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh. Tahun lalu 350
burung bertanding untuk mengambil sederetan piala yang sudah menunggu pemilik
burungnya. Dalam acara tersebut, kepada
dinas menyebutkan ajang ini sebagai sarana silaturahmi antara kicau mania. Yang
bertujuan untuk melestarikan burung akibat banyak sekali perburuan liar kepada
burung.
Komunitas tidak menyadari
kegiatan dan hobi inilah yang melakukan perburuan burung. Belum lagi mengkandangkan burung membuat perubahan perilaku seekor burung. Yang sangat mempengaruhi
berdasarkan pakan buatan yang diberikan.
“Makanan tidak alamiah akan
mengakibatkan perubahan perilaku kepada burung. Belum lagi burung tersebut
menjadi pasif karena terus menerus berada di dalam sangkar,” ujar Agus, alumni kedokteran hewan Universitas Syiah
Kuala ini.
Video Camouflage
Birding Photo at Lamteh manggrove, Banda Aceh, Aceh
https://www.facebook.com/photo.php?v=1728131009842&set=vb.1435445382&type=3&theater