Selasa, Februari 19

Ruang


Aku tau, kau akan pergi meninggalkan kota sepi dimana atapnya disinari bintang. Kota ini  diselimuti debu palsu dan polusi pikiran manusia. Terkadang ruangnya di sisipi angin beliung yang diam di igaku. Sehingga kau selalu ingin jauh dari kota ini.
Namun malamku masih seperti biasa. Selalu ada yang berbisik mencari imaji wujud dari suaraku.
Aku ingin kau menjadi insomnia setiap malam di sana. Agar dapat kudengar desaahanmu yang membelai roma kudukku. Sampai hasrat menjadi bersama dan nyata, walau bercampur imaji karut dalam kabut selimut. Jangan biarkan mata terbuka.
Jika hujan mengguyur kamarmu, aku disini kepanasan dan tak lama aku akan  kedinginan dari hembusan suaramu yang membeku. Saat rinai mereda kita menjadi satu disana, entah apa nama dunianya. Yang pasti akan selalu kutunggu malam itu. Saat itu, suaramu tak lagi mendu hanya layu. Kadang aku tersenyum membayangkan mimik wajahmu saat kau akan terlelap. Kuraba wajah malammu, teksturnya tak berbentuk hanya bergelombang tersenyum padaku.
Jika kau benar pergi, aku tak ingin menitipkan aroma tubuhku. Bawa saja buku yang menceritakan isi hatiku dalam secangkir kopi. Aku titip kumpulan cerpen sepatu agar kau ingat pasangannya. Sesekali akan kukirim gambar senja kesukaanmu dari kota kita.
Pergi mengejar misi, aku akan seperti semuala di tempat yang sama. Pojokan kota tempat kita pertama berjumpa. Walau disini tak ada yang istimewa, aku hanya mencoba membahagiakan orang tua yang mulai lelah melihatku bergentayangan.
Datanglah jika kau siap meminum kopi manis. Aku percaya suatu saat kau butuh gula untuk mencari rasa cinta dalam kopimu. Saat kau merasa kekurangan tanpa aku dalam kopimu.
Ladang gula dikota ini tak akan panen sebelum kau datang memesankan pada orang tuaku. Kelak gula ini juga akan menemani kopi pahitmu. Sehingga lengkaplah kita mengalir dalam darah mengandung kopi dan gula. Itu saja.

0 komentar:

Posting Komentar