Senin, Januari 28

Menuju Willem's Toren





Bangunan tua itu menepi di kaki pegunungan, di bibir cadas yang curam. Lokasinya di arah barat Indonesia. ‘Tuannya’ tidak disini. Ia telah mati.


 *** 

Ini perjalanan kedua saya ke Pulo Aceh. Tak berbeda dengan perjalanan tahun lalu, masih dengan boat nelayan. Teriknya siang itu, Rabu (23/1) tak mematahkan semangat saya untuk menempuh jarak 3 jam perjalanan di atas laut. Namun kali ini boat KM Kasih Sayang yang membawa kami ke desa terpencil, desa Meulingge. Boat ini hanya beoperasi seminggu 2 kali, hari Kamis dan Sabtu.

Musim angin timur sempat mengocok perut saya di tengah laut. Ombak tinggi sesekali memercikkan air kedalam boat, namun tak membuat boat kami mengurangi kecepatan. Boat ini melewati diantara dua pulau yang ditumbuhi pohon lebat. Saya dan beberapa teman yang mengabadikan barisan pepohonan seperti bedeng. “Bentuk seperti ini akibat pengarus angin yang mehempas pohon terus-menerus,” kata yahwa, teman seperjalanan saya. “Itu tempat shooting ‘Lord of The Ring’,” celutuk Aris, penggemar film.

Suatu lokasi ditengah perjalanan yang dinanti semua penumpang, melewati lokasi paling memicu adrenalin. Kami harus melewati arus deras diantara dua pulau, Pulo Nasi dan Pulo Breuh. Pawang boat harus mengencangkan pegangan kemudi selama 5 menit diatas arus cepat ini. Tak lama lagi, kami mulai melihat desa tujuan dari kejauhan. hanay perlu modal 20 ribu untuk sampai ke sini, ongkos paling murah sedunia. Tiba di pelabuhan Meulingge, perahu harus merapat pada boat yang telah terparkir di sisi pelabuhan. Pelabuhan baru yang dibangun setelah Tsunami oleh BRR. Tampak tak begitu berfungsi untuk boat kecil seperti kami tumpangi. Terlalu tinggi untuk menaikan dan menurunkan penumpang. Pelabuhan beton ini tak berujung ke pantai, masyarakat Meulingge harus membangun lagi jembatan kecil terbuat dari tiang kayu seadanya. Jembatan kayu sejauh 10 meter itu menghubungkan pelabuhan beton dan bibir pantai. 

Desa Meulingge merupakan desa paling ujung Pulo Breuh, kecamatan Pulo Aceh di kabupaten Aceh Besar. Tak ada Bidan atau dokter. Puskesmas sepi. Sementara sekolah, kini hanya ada dua orang guru dari program Sarjana Mengajar di Daerah, Terluar, Terdepan, dan Tertinggal (SM3T). Tak nampak guru yang yang bertugas di desa ini.  "Gurunya memang nggak jelas. Mengajar hanya beberapa hari saja. Padahal mereka memang sudah ditugaskan kemari," kesal Ismuha, Sekretaris Desa Meulingge.

**
Bersama seorang teman saya mengendarai sepeda motor melaju ke mercuasuar Willem’s Toren. Bangunan tua yang memiliki daya tarik bagi orang yang memiliki hobi sebagai bertualang. Hanya menggunakan “gigi 1”, kami memutarkan roda motor diantara bebatuan dan becek. Sesekali kami terlibas perdu yang tumbuh disisi jalan. Mendahului teman kami yang menapaki jalan sambil mencari objek menarik untuk difoto dalam perjalanan selama hampir satu jam.
Tibalah kami di halaman bangunan tua peninggalan Belanda itu. Riuh penghuni mercusuar menyambut kedatangan kami. Tak ada orang datang walau sekali dalam sebulan, mereka senang jika ada yang menjenguk. “Minum, minum, apa yang ada,” kata Bembeng, petugas Distrik Navigasi. Ia salah satu pegawai Direktorat Perhubungan Laut Sabang. Hanya 5 orang yang menunggui lampu besar itu.

Mercusuar ini ditemani tiga bangunan tua, yang satu masih dipergunakan oleh Bembeng dan teman-temannya untuk tempat tinggal. Diatas bukit, dengan menaiki tangga, satu bangunan tua telah ditumbuhi pohon di dalammnya hanya tinggal dinding suram. Benalu dan beringin menjalar di dinding tembok yang dibangun sejak setengah abad yang lalu. Bangunan ini memiliki ruang bawah tanah yang lebih luas dari bangunan di atasnya. “Ruang bawah tanah itu, kata orang bekas tempat penyiksaan,” kata M. Jamal, penduduk desa Meulingge. Menurutnya di dalam bangunan juga ada ruang dansa. Di belakang bangunan terlihat satu kolam yang airnya menghijau. Terdapat satu kuburan dengan batu nisan biasa saja. “Kalau mental lemah, pulang dari situ bisa-bisa orangnya demam,” ungkap Jamal. Ia mengisahkan anak tertuanya yang sempat mimpi aneh dan demam sepulang dari sana. Namun saya hanya menikmati bangunan ini dari luar saja.

Bangunan tua yang lain yang tidak digunakan, berada hanya 4 meter dari menara pemantau itu. Bangunan ini masih kokoh, masih memiliki atap namun tak berdaun pintu. Salah satu ruangannya hanya dijadikan kamar mandi. Sumber air disini hanya dari tampungan air hujan.

Akhirnya kami menaiki menara berpintu plat besi, berwarna perak itu. Melangkahkan kaki satu demi satu tangga yang berputar. Kadang ada juga anak tangga dari besi ini telah patah ataupun ompong. Kami harus menaiki 5 tingkat, sambil menikmati pemandangan lewat jendela kecil disetiap tingkatnya. Pada tingkat atas kami keluar dari badan menara untuk menikmati pemandangan langsung dari ketinggian 85 meter.

Nampak jelas pulau Sabang pada sisi kanan, jika cuaca cerah kita juga dapat melihat pulau Rondo yang terletak paling luar di barat Indonesia. Angin diatas ketinggian ini membuat kaki kami gemetar.  Itulah tantangan yang akan kita nikmati mengalahkan gamang dan takut ketinggian. Kita dapat menikmati bebrapa burung Elang dan Rangkong berterbangan diatas hutan lebat. “Ini angle baru, foto burung dari atas. Biasa dari bawah,” kata Yahwa, yang berprofesi sebagai fotografer lepas.

Saya sangat bangga telah sampai di atas mercusuar yang dibangun oleh Belanda ini. Konon mercusuar ini hanya ada tiga di dunia. Salah satunya di kepulauan Karibia, yang menjadi tempat pembuatan film Pirates of Karibian, yang dibintangi oleh Jhonny Deep, aktor Hollywood. Yang satunya lagi berada di negaranya sendiri, Belanda.

Nama mercusuar ini sendiri diambil dari raja Luxemburg yaitu Willem Alexander Paul Frederick Lodewijk. Mercusuar ini dibangun pada saat ulang tahun Willem Toren III. Pada tahun pada 1875. Kala Raja itu berkuasa berkuasa (1817-1890).

Menara pemantau ini dulu berfungsi sebagai penunjuk lalu lintas transportasi laut internasional. Namun setelah Tsunami, lampu ini tak lagi berfungsi. Salah satu alat dari mesinnya telah dicuri. Kini hanya lampu kecil yang hanya jadi penanda, tak lagi dapat menyoroti cahaya seperti dulu. Energy lampu kecil ini diambil dari 1 keping solarcell yang menyerap cahaya matahari. Menjelang magrib salah seorang petugas menyalakan lampu. Kini lampu kecil itu hanya berputar 90 derajat mengarah ke laut. Dulu, lampu yang dikelilingi dinding kaca ini berputar 360 derajat menerangi lautan dan daratan disekeliling menara.

0 komentar:

Posting Komentar