Rabu, Januari 1

Kita lacur si penguasa

Saya pernah kecewa seperti kalian dalam dunia pelacuran. Keringat tak dihargai, padahal kita menjual harga diri. Untungnya bukan diri modal yang kita jual beli. (Tiba2 merasa keren)

Namun saya sudah ikhlas. 

Saya mengalaminya setahun lalu. Saya dipecat karena kejujuran, harusnya saya menuntut bayaran pesangon. Tapi di rumah lacur tempat saya bekerja, kesalahan, tanggung sendiri, tak peduli dipecat atau mengundurkan diri. Dengan gaji hanya seperempat bayaran. Belum pantas dengan harga yang sudah ditetapkan oleh penguasa, saya mencoba bertahan. Karena saya menemukan jiwa saya di tempat ini. 

Padahal pemilik tempat lacur ini sedang berkoar mencari muka. Melakukan pencitraan bukan hanya dari buku kisah sepatu. Ia bicara kemiskinan. Sementara saya yang melacur di pantinya, sedang teraniaya. Sialnya, bos kami bergairah menjadi penguasa. Calon presiden yang muncul di iklan jamu, yang sering koar tentang aib sebangsanya. Ada juag mahasiswa buta yang mengagumi kuliah umumnya. Padahal dia memeras keringat kami. 

Selama bekerja di sana hanya pada Ojet, saya berani kemperlihatkan slip gaji. Lebih rendah dari pelacur yang berkerja di loron malam. Karena Ojet proyes, waktu itu saya mulai malas mencari sumber pencaharian. 

Gaji Rp5000 per tulisan, hanya cukup untuk bensin seliter. Kau harus kreatif cari pelanggan agar berita dimuat di teras depan tempat pelacuran. Saat itu teras memang sering jadi milikku. Tapi aku tak pernah sejahtera, karena duduk di teraspun hanya dapatkan tiga kali lipat dari biasanya. Cukup makan siang saja. 

Meski kami lacur media, kami punya harga diri. Cuap-cuap kami tidak mendapat suntikan dari humas sana-sini. Karena cuap kami berisi. Berani. 

Bagaimanapun tempat pelacuran itu kini sudah miliki mesin sendiri. Jadi ia mulai bersaing mempercepat pagi. Selamat melacurkan diri teman-teman yang masih mempertahankan nasib anak istri. Aku mundur karena sudah tak bisa diatur lagi. []

0 komentar:

Posting Komentar