“A pair of shoes can change your life. Just ask Cinderella !”
Sepatu menurutku mencerminkan si pemakai,
memperhatikan sepatu yang dikenakan wanita suatu kegiatan yang kunikmati
akhir-akhir ini. Demi mencari seseorang yang cocok dengan karakter sepatu.
**
Tanah
masih basah, matari belum menampakkan sinarnya padahal ayam tetangga sudah
berkali-kali berbunyi. Aku masih dalam keadaan pening menyalakan rokok menunggu
balasan SMS mu.
Aku
sudah sampai simpang rumahmu ni. Buka pintu ya !
Sender:
Yunda. 3.40 wib.
Aku
berdiri di depan pagar, rumahku tanpa penerang di depan lorong. Menunggu kau
diantar oleh taxi bandara. Sekejap kau turun dengan berbagai macam tas dari
mobil yang bukan taxi, tapi kau menyebut taxi.
“Lho.
Katanya naik taxi Yun?,” tanyaku penasaran memastikan.
“Taxi
gelap maksudku. Lumayan lebih murah,” ucapnya santai sambil menyeret tas ke
dalam pagar. Aku duduk di tembok gorong-gorong tak juga bangun sambil mengisap
rokokku. Kupandangi sepatu baru Yunda. Anak ini belanja banyak kayaknya di
Medan. Yunda tak sabar menyeret aku juga untuk masuk dan berkali-kali dia menguap.
Matanya sudah layu.
Yunda
teman ku, tepatnya soulmate yang baru kukenal dua bulan. Kami cocok pada pemikiran,
meskipun kami sering ribut saat diskusi. Sok beda pemikiran, ujung-ujungnya
kami setuju satu sama lain. Yunda bekerja sebagai guide travel yang menulis di
sejumlah media wisata. Dia sering nginap di rumahku karena kemalaman. Kos Yunda
punya jam malam, hanya samapai pukul 23.00 wib. Dan sering susah disuruh pulang
kecuali aku mendatangkan pacarku untuk mengusirnya.
“Aku
beli oleh-oleh buat kamu,” Yunda mulai membuka bungkusan barangnya. Sebuah buku
yang ia janjikan bulan lalu dan tambahan sepatu vibram. “Itu bayaran ekstra
karena webnya keren,” katanya sambil merem.
Tak lama
dia sudah menjajah tempat tidurku sambil mencopot sepatu. Gaya tidur seperti
terjungkal, tanpa membuka kaus kaki. Dasar anak jorok. Membuka sepatunya itu
sudah biasa, menggantikan baju untuk dia juga sudah pernah. Dia manusia paling
malas dan tidak bisa menahan ngantuk dan pipis.
Pagi itu
aku putuskan untuk berbagi tempat tidur. Anggap saja bantal guling empuk yang
bernyawa. Matari terik menembus gorden tipis lewat jendela. Rasanya mencolok
cahaya ke dalam mata. Aku memunggungi jendela untuk melanjutkan tidur. Susah
menggerakan badan, aku baru sadar Yunda sudah memeluk setengah dari tubuhku.
Kali ini aku jadi gulingnya. Mati rasa.
Kalau
sampai pacarku menyaksikan ini, bisa-bisa hilang masa depanku. Aku
memacari Lala, cewek yang manis dan
santun. Mana tau dia kalau aku sering berbagi ranjang dengan wanita lain.
Meskipun hanya wujud saja Yunda seperti perempuan.
Kamar
terasa gerah dan panas, aku tersadar dengan suara SMS masuk di hanphone.
“Aku
udah pulang Min, kasurmu terasa empuk tadi,”
Ya
iyalah, aku yang kau tiduri bukan kasur Yunda.
**
Aku
menjemput Lala ke Klinik tempat dia bekerja. Setelah hampir 2 jam menunggu
akhirnya dia selesai bertugas. Lala mengajak Makan malam di rumah temannya
sesama dokter. Selama ini aku selalu menolak, karena selalu saja tidak nyambung
dengan pembahasan teman-temannya. Kali ini biarlah aku menyenangkan hati Lala.
Sebuah restoran romantic menunggu kami dengan dua orang temannya. “Sayang, ini
double date, hanya kita ber-4. Aku mau kamu nyaman dengan makan malam ini ya,”
ujar Lala dengan lembut.
Sepanjang
makan malam, tidak ada pembahasan yang dapat aku tanggapi. Mereka asik sendiri
dengan kisah lama yang tak kumengerti alur pembicaraannya yang agak kecewek-an.
Temannya seperti tidak ingin aku masuk dalam pembicaraan. Akupun sibuk meladeni
chat Yunda yang tanya kunci rumah. Gawat. Dia pasti mau menginap lagi.
Lama-lama bisa tak tahan imanku dibuatnya.
Kami
pulang dari restoran menuju ke rumahku dengan mobil Lala. “Motornya besok saja
diambil. Kamu kenapa tadi asik sendiri sama HP,” Lala tampak kesal. Aku mencoba
menjelaskan, tapi tetap saja seperti tak masuk akal. Akhirnya aku hanya diam.
Dan aku tetap yang harus minta maaf pada Lala. Tetap saja Lala merajuk, dan
mala mini aku tidak ingin memujuknya. Kami hanya diam hingga tiba di depan
rumahku.
Terlihat
lampu kamar menyala, Lala curiga tapi dia urung menanyakan kalau ada orang di
dalam rumahku. Ditangga kulihat sepatu baru Yunda tergeletak tak tentu arah.
Dia juga manusia yang tak tahan pipis, pasti kebelet.
“Heh
Boneng… kenapa sepatu tungang langgang gitu, macam dikejar setan,” tanyaku. Dia
sudah membuatkan aku teh kelat. “Nih buat kamu. kenapa si Lala? Mukamu suntuk
gitu,” Yunda selalu tau apa kejadianku tanpa harus kuceritakan.
Malam
itu aku mengerjakan projek website travilling Yunda. Kontraknya lumayan buat
tiket pesawat dua orang ke Lombok. Nantinya tiket akan kupesan sesuai dengan
cuti Lala. Aku sangat ingin membuat dia tersenyum. Tingkahku selama ini selalu
membua dia kesal. Tapi menurut Yunda, malah sebaliknya. Anak kemaren sore ini
kadang sok tau.
Lala
sudah setuju akan pergi ke Lombok sebulan lagi. Cuti sudah berhasil ia peroleh
dari pimpinan klinik. Hanya menunggu sebulan sambil menyelesaikan pekerjaan
design web milik si Yunda.
Semingu
menjelang liburan kami ke Lombok. Lala datang bertamu ke rumah membawa makanan
kecil yang kugemari. Dia merapikan rumah, menyusun buku yang diserakkan Yunda,
membersihkan dapur yang diserakkan Yunda, dan mencuci seprei yang ditiduri
Yunda dan aku. Tak tega melihat perilaku kami yang tidak menjaga perasaan Lala.
Membersihkan
rak sepatu. Dan… “ini sepatu siapa ? koq lebih kecil ?,” Tanya Lala sambil
memungut sepatu boot merah milik Yunda. Matilah aku.
“Itu, si
Yunda pinjam sendalku kemarin hujan. Takut rusak sepatu barunya,” kataku jujur.
Tapi Lala malah tersenyum. “kalian lucu.”
Lala
sering menanyakan tenang Yunda, yang setahu dia, Yunda hanyalah klien website
ku saja. Yang sering datang berkonsultasi. Dalam hati Lala merasa cemburu, terbaca
dari tatapan yang dia curi-curi saat melirik Yunda. Tapi dasar Yunda Polos, dia
tidak merasa risih berada bersama pacar orang.
Meskipun
gayanya selalu cuek, dia seorang
pendengar yang baik dan perasa. Ia harus
berjuang mencari uang sendiri untuk kuliah yang sering bolong karena kesibukakannya
berjelajah untuk tv nasional.
Lala
seumuran denganku, dia dewasa, peka dan sangat wanita. Sepatunya paling aku
suka, dia selalu memakai sepatu wanita sekali. Pertama bertemu dia menenteng
sepatunya pink tanpa hak di mesjid. Saat itu dia kehilangan kaus kaki, dia
tampak kebingungan. Lalu dia memakai tanpa kaus kaki, agak kikuk jalannya. Dia
melewai dan member senyum untukku. Dia sadar kalau dari tadi aku
memperhatikannya. Ternyata dia takut lecet. Saat itu dia masih kuliah di
tingkat akhir. Kami berkenalan di halaman mesjid, kami sama-sama menunggu teman
yang lagi solat juga. Tiga tahun berkenalan setahun berpacaran. Sangat lama aku
menyakinkan cintaku padanya. Lala bukanlah orang yang suka pacaran saat itu.
Dan saat ini dia menganggap kami taaruf.
Kadang
Lala membohongi orang tua jika ingin berjumpa denganku. Tak baik perempuan
menjumpai lak-laki diluar rumah, kata ayahnya. Aku khawatir ayahnya akan
keberatan member izin kami berlibur ke Lombok. Seminggu lagi akan berangkat
tapi Lala belum juga meminta izin.
H-3 aku
sibuk menyiapkan design untuk layout majalah remaja. Agar nanti sewaktu pulang
kerjaan tidak menumpuk. Harus begadang dan membuat teh kelat, aku tak bisa
minum kopi. Teh ini dibelikan Yunda di airport Jepang, katanya bagus buat yang sering
begadang. Seketika aku rindu ingin diganggu Yunda. Sudah sebulan sejak webnya
diluncurkan, dia jarang ke rumah. Anehnya kami tidak pernah saling menelfon.
Iseng
aku menelfon yunda. Terdengar nada tunggu lagu spongebob. Dasar anak dibawah
umur.
HP
diangkat, lalu dia berdehem, “Halo… Min ? ada apa? Aku sudah tidur,” Tanya
Yunda penasaran dari seberang.
“Nggak,
kangen aja, tidak ada yang mengacau lagi di rumahku,” jawabku.
“Iya,
aku lagi final di kampus, sibuk kumpulin catatan buat nyontek,” suaranya
seperti Yunda sedang berjalan, ada suara gelas lalu dispenser.
“Kau OK
sama Lala? ,” Tanya tiba-tiba.
“Kenapa
Tanya gitu, aku dan Lala akur. Kami akan liburan ke Lombok,” jelasku.
“Aku
bilang sih, dia nggak dikasi ijin sama orang tuanya. Bukan mendoakan, dia itu
anak baek-baek mau kau ajak pula pergi berduaan. Ajak makan bakso aja susah,”
Yunda mulai meracau.
Malam
itu, aku mencoba memikirkan kemungkinan jika Lala tak jadi ikut.
Pagi H-2.
SMS masuk dari
HP.
Ayah
menyuruh Amin datang ke rumah, perihal izin kita ke Lombok.
Sender:
Honey. 06.00 wib.
Detak
jantungku terasa berdetak lebih kencang, aku gelisah. Merasa lancang mengajak
anak gadis orang bepergian. Padahal orang tuanya belum memberikan lampu hijau dengan
hubungan kami. Lala terlalu mencintaiku, hingga dia sendiri yang memberikan
kelonggaran atas batasan orang tuanya.
Mengenakan
baju yang pantas dan sopan. Aku datangi rumah Lala dengan segala konsekuensi.
Yang sudah pasti liburan kami gagal.
Sore
itu, ayahnya terlihat tenang didampingi ibu Lala, sementara Lala belum pulang
dari kliniknya. Dia memintaku menguraikan apa yang kami rencanakan setiba di
Lombok. Aku mengeluaran undangan pameran dari tas ranselku. Undangan pameran
design Internasional yang tidak mungkin tak kudatangi untuk bertemu designer
top dari luar.
Ayahnya
mangut-manggut.
“Saya rasa
Lala tidak perlu ikut. Saya tidak mengizinkan Lala pergi jauh dengan bukan
muhrim. Maaf nak Amin. Saya harus mengatakan keputusan kalian ini membuat saya
malu sebagai orang tua. Lala mengambil keputusan sendiri,” ayahnya sedih dengan
kelakukan Lala. Ayahnya tidak menyalahkan aku. Tetapi sebagai anak saleh, Lala
harusnya menjelaskan keadaan seorang wanita yang tidak muhrim kepadaku.
Aku ini
tau apa. Memposisikan sama dengan semua wanita. Jalan-jalan biasa, tidak ada
niat mengambil kesempatan pada Lala.
“Saya
harus mengawinkan Lala, sepertinya dia harus segera berumah tangga, agar
keinginan mudanya perpenuhi jika sudah bersuami. Kami ini orang tua yang
terlalu cinta anak kami,” jelas ayahnya.
“Apa
yang harus saya lakukan Pak ?,” tanyaku dengan suara yang hampir tidak
terdengar. Serak dan terbata.
“Saya
ingin mencari imam untuk menjadi suami Lala. Kalau kami merasa bisa membimbing
anak saya, bawakan orang tuamu dalam waktu dekat.”
Aku
pulang dengan gontai. Jelas aku tak mampu menjadi imam seperti yag dimaksud
ayahnya. Aku keluar dari rumah megah itu, sambil melirik barisan sepatu Lala di
sudut ruangan. “sudahlah kawan, kau hanya sanggup belikan Lala sepasang sepatu,”
kata heels kotak-kotak, hadiah ulang tahun dariku.
Dirumah,
aku termenung, mengenang hubungan ku yang tak diinginkan orang tua Lala. Aku
tidak paham agama sama sekali, solatpun jarang, hanya rajin di depan Lala, aku
hanya menyenangkan dia. Bagaimana aku terus menipu Lala kalau jadi suaminya.
Hari
keberangkatan aku masih belum packing barang untuk berangkat sendiri. Hari itu
juga aku dan Lala setuju berpisah.
“Doakan
aku dapat jodoh sebaik kamu Amin. Aku akan dijodohkan dalam waktu dekat. Ayah
tidak mau aku durhaka. Amin jaga diri baik-baik di sana ya. Jangan lupa solat,”
suaranya tertahan dengan isak yang dibuat setegar mungkin. Aku duduk
HP
berbunyi, SMS masuk, aku tersedot dari lubang hitam yang dalam.
“Aku ke
rumah ya boneng, mau dibelikan apa?,”
Sender:
Yunda 00.20 wib.
Hanya
sebentar terdengar dia mematikan mesin motornya yang berisik dari depan lorong.
Biasanya dia mendorong motor sampai garasi, agar suara motor ak menggangu
tetangga.
“Taraaa…
aku bawa sate langgananmu. Aku nginap disini ya, kos ku tutup,” ucapnya ceria
seperi biasa. Aku tidak peduli dan pura-pura tidur lagi. Yunda ke toilet untuk
pipis dan ke dapur menyeduh teh kelat untuk kami berdua. Itu ritualnya.
Kami
makan sate, minum teh, merokok. Sambil mendengar kisah nyonteknya selama final.
Lalu dia celingak-celinguk memeriksa meja kerjaku.
“wow…
kamu dapat ya undagan pameran design ke Lombok,” Yunda menempel undangan di
jidatku.
“Aku
ikut dong Amin.. kan untuk dua orang nih, yaya.. aku bayar tiket sendiri. Final
ku udah selesai kok. Aku lagi libur,” Yunda merayu ku.
Barulah
aku mengambil tiket yang sudah tertera nama ku dan Lala disitu. “Owhh.. ajak
Lala ya? Ya sudah lah,” Yunda tidak keberatan sama sekali. Lalu dia mulai
merasa ada yang aneh dengan tingkahku.
“Kami
putus,” kataku. Aku menunggu reaksinya. Yunda sampai mangap dan tidak dapat
berkata-kata. Dia mengemgam tanganku dan memeluk lenganku sambil merebahkan
kepala di bahuku. Tidak berkata apa-apa. Kami hanya terdiam hingga satu jam.
Yunda tau bagaimana kami saling cinta. Meski dia kadang menjadi pemicu Lala
cemburu.
Malam
itu kami tidur saling berpelukan. Lupa mengunci pintu, menutup jendela dan
sepatu tetap berserak didepan pintu kamar.
Ketika
bangun aku lihat Yunda mondar mandir seperti diburu sesuatu.
“Apa
keputusanmu sama tiket pesawat ini?,” muka Yunda bertanya serius.
“Aku
nggak mau pergi sendiri,” aku menjawab sekenanya.
“Aku
yang ikut Amin,” katanya. Kami melirik jam ditangan masing-masing. Melihat
waktu cek in pada tiket, hanya tersisa setengah jam lagi.
Tanpa
mandi aku packing baju dan membereskan laptop. Yunda hanya sisiran dan tanpa
membawa baju sehelaipun dalam ransel camera nya. Kami bergegas memacu trail
milik Yunda, menembusi jalan tol ke bandara. Sepintas kulirik dari spion Yunda
memegang tiket sambil memencet iPhone, dia cek in lewat HP nya. Kami hampir
ketinggalan pesawat perihal nama Lala di tiket.
Setelah
memasang seatbelt, kami tertawa-tawa di dalam pesawat tanpa memperdulikan
penumpang yang kesal sudah menunggu kami terlambat.
“Lalu
kamu pakai apa nanti disana Yun,” Tanya ku melihat dia santai saja tidak bawa
apapun kecuali cameranya.
“Aku
pakai sempak mu yaaaa,” goda Yunda melirik manja.
Akhirnya
kami tidur lagi di pesawat yang membawa kami ke Lombok. Setelah bangun
mudah-mudahan aku dapat melupakan kisahku dan Lala.
Pramugari
membangunkan kami yang masih kurang tidur ini. Yunda bersandar pada bahuku
sambil memeluk lengan kiriku. Diluar gerimis menyambut kami, tetapi ada cahaya
yang akan memgambar pelangi. Pasti.
“Pak,
ini sepatu pacarnya, sudah terseret sampai ke depan tadi,” kata pramugari
cantik sambil sedikit membungkuk. Kuperhatikan dan kuambil sepatu Yunda, boot
takut hujan. Jenis sport yang sangat cocok dengan kepribadiannya. Yunda
terbangun dan merampas sepatu dari tanganku.
“Hanya
sepatu jenis ini yang dapat mengerti kamu Amin,” kata di depan mukaku dengan
wajah malas.
“Boot takut
hujan,” ejekku. Ternyata hujan akan merusak warna merah dikulit sepatunya. Karena
dia malas merawat sepatu.
Kami harus
menunggu penumpang yang berdesakan ingin turun dari pesawat. Hawa hujan Lombok
menyambut kedatanganku di musim hujan ini. Yunda menunggu di depan tangga
menunggu aku menikmati gerimis.
“oiii
orang kampong, enggak pernah kenak ujan ya,” teriaknya sambil menendang kakiku.
Mulailah kami kejar-kejaran hingga kena tegur satpam airport. Meski sepatunya
kena cipratan, dia tak peduli lagi.
Yunda,
aku berjanji akan merawat sepatu boot merahmu. []
0 komentar:
Posting Komentar