Tuasan atau apong sebutan untuk daun lontar yang digunakan nelayan untuk
membuat sarang ikan sebelum dijala dengan pukat di tengah laut. Fungsi
daun tersebut untuk mengundang ikan kecil bersarang pada daun
tesebut agar ikan besar yang diinginkan nelayan mencari makan disarang itu. Pohon
Lontar (Borassus flabellifer) atau dalam bahasa Aceh disebut Oen
Iboih ini jenis pinang-pinangan yang mempunyai jenis daun paling tahan terhadap
air.
Daun lontar ini biasanya harus dipesan dari gampong yang berdekatan dengan
gunung atau hutan. Para pemilik kapal sudah biasa memesan pada abang
becak untuk mencarikan daun ini hingga ke Aceh Besar. Sebatang daun lontar ini
dihargai Rp 3 ribu, nelayan biasanya membutuhkan paling tidak 100 batang yang
di benamkan ke tengah laut.
Tuasan ini akan diikat pada tali setebal 32 mili seperti jemuran baju
sepanjang paling tidak 30 meter. Salah satu kapal nelayan di pelabuhan Lampulo
misalnya, KM Hikmah Fajar biasanya menurunkan tuasa sepanjang 90 meter.untuk
membenamkan tuasan ini sampai ke tengah laut harus membenamkan sebanyak 20
buah. Sauh ini ditempah khusus dari semen yang dicor untuk pemberat.
Setidaknya para awak kapal harus menyediakan tali 300 meter untuk mengikat
sauh sampai ke dasar laut. Persisnya, tuasan akan berada pada pertengahan air
laut.setiap kapal akan menandai tuasan mereka dengan titik Global Positioning
System (GPS) untuk memudahkan mencari tuasan mereka.
“Tuasan akan ditinggalkan sedikitnya tiga hari, menunggu daun tuasan ini
berbau anyir dan menempel lumpur,” kata Saiful seorang nelayan di Lampulo.
Menurutnya, ikan-ikan kecil yang ia sebut bibit, akan berdatangan
dan bersarang pada tuasan tersebut. Sehingga ikan besar akan berdata ngan
memangsa ikan kecil tersebut.
Setelah ikan-ikan besar ini berdatangan, barulah para nelayan melemparkan
pukat pada tuasan tersebut. “Waktu mengambil ikan harus di terangi lampu tembak
agar terang dan ikan tidak pindah dari tuasan,” kata Saiful menjelaskan. Ikan
paling senang jika suasa air terang apalagi saat terang bulan. Saat purnama
nelayan mengaku banyak mendapatkan tangkapan ikan. Lampu yang digunakanpun
tidak tangung-tangung. Untuk kapal sejenis KM Fajar Hikmah ini, ia
membutuhkan 18 buah lampu dengan menggunakan mesin khusus yang menggunakan
bahan bakar solar.
Untuk keperluan perlengkapan tuasan, pemilik kapal harus mengeluarkan modal
puluhan juta untuk satu set tuasan. “Satu tuasan seperti kapal kami ini butuh
dana Rp 70 juta termasuk upah,” kata Heri, seorang awak kapal. Heri
mengatakan, biasanya kapal tempat ia bekerja itu, melempar tuasan ini sejauh
500 mil dari daratan.
“Tuasan ini paling tahan 2 kali melaut saja, paling tidak 15 hari sekali
diganti setengahnya. Karena sudah ada bau anyir jadi masih diperlukan untuk
memancing bibit,” jelasnya. Setelah ikan besa yang diinginkan nelayan berhasil
terjaring dalam pukat, giliran daun lontar untuk menjadi pemancing agar ikan
pada tuasan pindah ke daun lontar tersebut.
Para nelayan di Aceh masih tergantung pada penangkapan secara tradisional
seperti itu. Namun jika pemilik kapal tidak memiliki modal besar mereka hanya
menanggkap ikan dengan menggunakan pukat saja. []
0 komentar:
Posting Komentar