Selasa, Oktober 22

Pecandu Kopi

Setelah seminggu menjauh dari kotaku. Kau bergegas pulang karena kehilangan aroma dan rasa kopi. Aku dapat merasakan kau yang sakau di sana. Seperti aku yang kehilanganmu. Aroma tubuhmu kurindu. 

Aku percaya tempat yang pertama kau datangi adalah meja di warung kopi langgananmu. Bukan meja kantormu. Bukan pula kamar tidurku.

Candumu hanya pada biji coklat mungil yang telah digonseng. Aroma rindu yang keluar pertanda biji siap berada di dalam pemanggang. Harus segera dikeluarkan, agar pecandu sepertimu tak melupakan aromanya yang menusuk otak dan membuat mata terjaga. Lalu dia diputar untuk didinginkan agar suhu nya menjaga aroma yang membuatmu merindu. 

Seperti aku yang setiap saat terpanggang dengan candu yang kau titipkan lewat mata lelah memandangku malas. 

Lalu kau sabar menunggu Biji kopi di haluskan agar tidak sia-sia dan terbuang sedikitpun. Sama sabar ku menunggu dengan sunyi dan pelan agar tak sedikitpun rindu ini tersiakan sebelum kau kembali. 

Besok pagi, aku hanya akan menanti kau di sudut meja untuk menulis pesanan kopimu. Lalu menyodorkan gelas kopi yang pertama setelah Warung dibuka. Kau sambut dengan senyuman sembari menghirup aroma dari kepulan, lalu melepas lega cafein telah masuk kedalam paru mu. 

Hirupan pertama menjalar bagai menghantarkan ion-ion pelepas rindu. Serumput berikutnya untuk kehausan mencari diri dalam ketidak pastian kala. 
Mungkin besok aku akan gratiskan kopi pancung untuk menyembuhkan rindumu pada kopi. Dan rinduku pada mu. 

Canduku lebih berbahaya karena tak ada pesanan dalam menu yang dapat menyembuhkan. Sebaiknya aku menjelma sebagai kopi. Saat kau menghirupku, aku menyatu dalam raga dan rindumu. 

Atau esok lusa aku ingin terlentang di atas penjemuran, menahan terik demi kau miliki aku dalam secangkir kopi. 


0 komentar:

Posting Komentar