Jika hati
ibarat segelas air. Masing-masing kita membawa sesuatu untuk dilarutkan ketika menemuiku,
Kau membawa gincu dengan warna kesukaanku. Merah, kau bilang agar cerah seperti
hatiku. Penuh gairah. Kau mengaduk warna buatan itu dalam gelas air putihku. Seketika
hati menjadi ranum, menyala. Saat itu memang hidupku berwarna. Setiap bertemu
aku menagih rindu pada warna mirahhu itu padamu. Gairah itu hanya ada ketika
kau membawa warna dan aku meminumnya tanpa rasa.
Giliranku
menuangkan sesuatu dalam gelas kaca di hadapanmu. Aku tak membawa warna yang
menikmatkan mata. Aku membawa segenggam garam untuk air putihmu. Aku tau kau
tidak tertarik terhadap warna. Kau bilang warna hanya penilaian pada pandangan
pertama. Kini aku membawa rasa untukmu. Hanya sesendok garam kularutkan dalam
hatimu.
Agar rasa
asinnya kau ingat, kau kecap rasaku mengaduk hatimu. Agar kau tau, aku ada bukan
untuk dinikamati mata. Tetapi indra yang lain seperti lidah dapat mengantarkan
rasa asin lewat saraf menuju ke otakmu.
Ingatlah aku
dalam setiap rasa asin yang kau jilati. Saat engkau mengecapi hujan, aku sering
bercampur dengan keringat saat kau lelah. Saat itu, rasaku tetap ada.
Aku akan
wujud dalam rasa tangismu, saat kau sedih meratapi kesendirian tanpa kasih. Akupun
ada dalam rasa air matamu.
Asin rasa
kecapan pertama saat kau masih bayi yang diperkenalkan orang tuamu. Aku ada
bahkan saat kau baru mengenal dunia.
Meski aku
penyuka warna, namun aku butuh rasa yang akan kau larutkan dalam cinta berwujud
gelas dan semurni air putih. kau tanpa aku bagai sayur tanpa garam. []
*Gincu
dan garam, pesan Bung Hatta kepada pemuda Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar