Rabu, November 13

Cinta Tak Selalu Warna, Ia Butuh Rasa


Jika hati ibarat segelas air. Masing-masing kita membawa sesuatu untuk dilarutkan ketika menemuiku, Kau membawa gincu dengan warna kesukaanku. Merah, kau bilang agar cerah seperti hatiku. Penuh gairah. Kau mengaduk warna buatan itu dalam gelas air putihku. Seketika hati menjadi ranum, menyala. Saat itu memang hidupku berwarna. Setiap bertemu aku menagih rindu pada warna mirahhu itu padamu. Gairah itu hanya ada ketika kau membawa warna dan aku meminumnya tanpa rasa.


Giliranku menuangkan sesuatu dalam gelas kaca di hadapanmu. Aku tak membawa warna yang menikmatkan mata. Aku membawa segenggam garam untuk air putihmu. Aku tau kau tidak tertarik terhadap warna. Kau bilang warna hanya penilaian pada pandangan pertama. Kini aku membawa rasa untukmu. Hanya sesendok garam kularutkan dalam hatimu.
Agar rasa asinnya kau ingat, kau kecap rasaku mengaduk hatimu. Agar kau tau, aku ada bukan untuk dinikamati mata. Tetapi indra yang lain seperti lidah dapat mengantarkan rasa asin lewat saraf menuju ke otakmu.

Ingatlah aku dalam setiap rasa asin yang kau jilati. Saat engkau mengecapi hujan, aku sering bercampur dengan keringat saat kau lelah. Saat itu, rasaku tetap ada.
Aku akan wujud dalam rasa tangismu, saat kau sedih meratapi kesendirian tanpa kasih. Akupun ada dalam rasa air matamu.

Asin rasa kecapan pertama saat kau masih bayi yang diperkenalkan orang tuamu. Aku ada bahkan saat kau baru mengenal dunia.

Meski aku penyuka warna, namun aku butuh rasa yang akan kau larutkan dalam cinta berwujud gelas dan semurni air putih. kau tanpa aku bagai sayur tanpa garam. []

*Gincu dan garam, pesan Bung Hatta kepada pemuda Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar