Jumat, Oktober 11

Maulid Di Atas Mercusuar Pulo Aceh

Bulan maulid tiba, kami mendapat undangan dari warga Pulo Aceh untuk datang merayakan acara maulid di Desa Meulingge, Kecamatan Pulo Aceh, Aceh Besar. Desa paling ujung Indonesia ini mengadakan kenduri (pesta makan) dengan mengundang warga lelaki dari desa lain untuk acara makan-makan atau disebut kenduri.

Maulid paling lama di dunia terjadi di Aceh yaitu selama tiga bulan. Dalam waktu tersebut masyarakat kapan saja melakukan kenduri maulid ini. Rusdi Sufi, Serawan Aceh pernah bercerita, bahwa maulid di Aceh merupakan perintah raja untuk memenuhi janji pada Negara Persia dahulu. Kerajaan Aceh yang berhutang pada Negara tersebut dibebaskan hutannya dengan memberikan makan kepada rakyatnya pada hari kelahiran nabi Muhammad Saw.

Berangkatlah kami dengan menggunakan boat penumpang dengan ongkos Rp20 ribu dengan menempuh waktu 2,5 jam. Dengan harapan perbaikan gizi bagi kami anak kos, kami juga membawa alat untuk alat snorkeling untuk menikmati terumbu karang dan ikan.
Sejak pagi ibu-ibu menyiapkan masakan dan disaji dalam piring kecil yang disusun betingkat dalam tabeusi (talam), lalu ditutup dengan tudung bercorak Aceh dengan aneka warna. Sementara nasinya dibungkus dengan daun pisang yang telah diasapkan dengan api membuat nasi beraroma khas daun pisang. Lalu nasi ini dibungkus membentuk kecurut yang disebut bu kulah.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhATWRlNfUz8uRZXfT_k9AhjLP_ltiE5hmTzBHoXsRCwuH1s2lwzewPwpWKB5_eZJCojz5H5xAdpAmyzECtUMDCJVZnHdE9aIGviRYWRLx699B4MV4XWyisHFS10NipyGH6vkHHdm5KrIfT/s400/DSCN3689.JPG

Ada yang unik dengan ritual maulid di pulau terpencil itu. Sebelum menyiapkan dan menyusun masakan kedalam tabeusi, ibu-ibu membakar kemenyan di atas sabut atau kulit kelapa. Kata ibu Azizah, pemilik rumah yang kami datangi, ritual ini untuk memanggil arwah dan mengenang Nabi Muhammad Saw. Semerbak kemenyan mengapung menjadi asap di dalam dapur. Lalu susunan makanan itu di tutupi dengan tutup idang (tudung saji) membungkus dengan kain berwarna-warni biasa dari kain selendang. Bungkusan idang siap di antar ke menasah desa.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjqQTnWjm48qHL0w8DcYiwr1YfJmB8J-s2CAnWy9zA1GMIuyXX4URMZyq_Big5rm0PmSWT6lWRc0QUbtpGLjMmUFa6pEijR8imE4mDeYB-NS0s3NWqy8hGLPq4bCsjO_AjMaTcWDtJhocyQ/s400/DSCN3723.JPG
Setelah selesai, kaum lelaki membawa idang tersebut dari rumah masing-masing. Tamu dari desa lain telah berkumpul dan siap menyantap kenduri maulid bersama-sama di menasah. Lalu sisanya boleh dibawa pulang, dengan mencampur semua lauk ke dalam nasi. Itulah khas kenduri dengan campuran nasi dan lauk yang dimakan kam perempuan di rumah.
Kami tidak hanya makan kenduri maulid ini di menasah saja. Mercusuar Willem Toren adalah landmark nya Pulo Aceh, peninggalan Belanda yang harus diabadikan. Lalu kami membawa bungkusan bu kulah ke mercusuar dengan berjalan kaki selama satu jam lebih. Di atas ketinggian 85 m mercusuar kami kembali makan kenduri maulid sambil menikmati pemandangan laut lepas. Hal terpenting adalah membuka handphone untuk mempublikasikan kenduri maulid ini di sosial media. Karena sudah sejak kemarin kami tiba di desa, belum mendapat sinyal handphone, maklum tidak ada tower di desa. Ajang narsispun terjadi hingga kami pulang kembali ke desa. Malam hari kami mendatangi mesjid untuk mendengar dakwah bersama masyarakat desa yang menjadi bagian dari acara maulid.[]


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEixzQ4yPm9Ey4cDP9K-hOlaN3vJ9BYRB6g2TzTKUOI8zjSqzXp_tbIBMlLe6kMOynG4ZuQWpdhlI3R2_TpUOmiWzDn75fB8kiB5NxQ5yVs6EXLX8RqoAq47cmniJ4tS7TRkBspNYUVbUeTV/s400/DSCN3733.JPG

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhoT1HvEYTAQGMgjrmZ6x_IWYtoRiEcIklq_CPlit1U1ry1gYRvw7VjdJTY1JbHBa1-r4169zid7hyphenhyphenkAnCLjEWqkp58okIIPMGuD9jY_GJ3XtDUnKBW7T-YWOTIpIhjGKAkn8n1p8qFf8iP/s400/DSCN37822.JPG





0 komentar:

Posting Komentar