Bulan maulid
tiba, kami mendapat undangan dari warga Pulo Aceh untuk datang merayakan acara maulid di Desa Meulingge, Kecamatan Pulo
Aceh, Aceh Besar. Desa paling ujung Indonesia ini mengadakan kenduri (pesta
makan) dengan mengundang warga lelaki dari desa lain untuk acara makan-makan
atau disebut kenduri.
Maulid paling lama di dunia terjadi di Aceh yaitu selama tiga bulan. Dalam
waktu tersebut masyarakat kapan saja melakukan kenduri maulid ini. Rusdi Sufi, Serawan
Aceh pernah bercerita, bahwa maulid di Aceh merupakan perintah raja untuk
memenuhi janji pada Negara Persia dahulu. Kerajaan Aceh yang berhutang pada Negara
tersebut dibebaskan hutannya dengan memberikan makan kepada rakyatnya pada hari
kelahiran nabi Muhammad Saw.
Berangkatlah kami dengan menggunakan boat penumpang dengan ongkos Rp20
ribu dengan menempuh waktu 2,5 jam. Dengan harapan perbaikan gizi bagi kami
anak kos, kami juga membawa alat untuk alat snorkeling untuk menikmati terumbu
karang dan ikan.
Sejak pagi
ibu-ibu menyiapkan masakan dan disaji dalam
piring kecil yang disusun betingkat dalam tabeusi (talam), lalu ditutup dengan tudung bercorak Aceh dengan aneka warna. Sementara nasinya dibungkus dengan daun pisang yang telah diasapkan
dengan api membuat nasi beraroma khas daun pisang. Lalu nasi ini dibungkus
membentuk kecurut yang disebut bu kulah.
Ada yang unik dengan ritual maulid di pulau terpencil itu. Sebelum menyiapkan dan menyusun masakan kedalam tabeusi, ibu-ibu membakar kemenyan di atas
sabut atau kulit kelapa. Kata ibu Azizah, pemilik rumah yang kami datangi,
ritual ini untuk memanggil arwah dan mengenang Nabi Muhammad Saw. Semerbak
kemenyan mengapung menjadi asap di dalam dapur. Lalu susunan makanan itu di
tutupi dengan tutup idang (tudung saji) membungkus dengan kain berwarna-warni
biasa dari kain selendang. Bungkusan idang siap di antar ke menasah desa.
Setelah selesai,
kaum lelaki membawa idang tersebut dari rumah masing-masing. Tamu dari desa
lain telah berkumpul dan siap menyantap kenduri maulid bersama-sama di menasah.
Lalu sisanya boleh dibawa pulang, dengan mencampur semua lauk ke dalam nasi.
Itulah khas kenduri dengan campuran nasi dan lauk yang dimakan kam perempuan di
rumah.
Kami tidak hanya makan kenduri maulid ini di menasah saja. Mercusuar Willem Toren adalah landmark nya Pulo Aceh, peninggalan Belanda yang harus diabadikan. Lalu kami membawa bungkusan bu kulah ke mercusuar dengan berjalan kaki selama satu jam lebih. Di atas ketinggian 85 m mercusuar kami kembali makan kenduri maulid sambil menikmati pemandangan laut lepas. Hal terpenting adalah membuka handphone untuk mempublikasikan kenduri maulid ini di sosial media. Karena sudah sejak kemarin kami tiba di desa, belum mendapat sinyal handphone, maklum tidak ada tower di desa. Ajang narsispun terjadi hingga kami pulang kembali ke desa. Malam hari kami mendatangi mesjid untuk mendengar dakwah bersama masyarakat desa yang menjadi bagian dari acara maulid.[]
0 komentar:
Posting Komentar