Keukarah, kue tradisional khas
Aceh yang hanya dijumpai saat acara adat Aceh saja. Kue ini telah bertransformasi dalam berbagai bentuk sesuai dengan keperluan. Kini kue ini
menjadi pilihan oleh-oleh bagi wisatawan.
Hamia mengaduk perlahan adonan tepung dan sedikit ciran gula. Ia memasukkan tepung cair itu ke dalam cetakan dari tempurung yang ia gantung tepat diatas kuali berisi minyak panas. Dari lubang-lubang halus, adonan tadi jatuh bertekstur seperti mie dan berbentuk bulat. Dengan cekatan Hamia melipat dua bundaran didalam minyak tadi lalu memberi lengkungan seperti sabit.
"Sekarang orang suka beli keukarah,
kalu dulu orang taumya beli bhoi
aja," aku Hamia, pemilik gerai Kana Kue di Desa Lampisang, Kecamatan
Lhoknga, Aceh Besar. Ia mengaku pembeli yang paling banyak membeli keukarah adalah wisatawan. Khususnya
dari luar Aceh. Biasanya, mereka langsung menanyakan makanan khas yang unik.
Bentuk kue keukarah, kini telah
banyak dibuat unik sesuai dengan keperluan. Seperti acara tradisional,
masyarakat Aceh masih menggunakan bentuk lama yaitu bentuk bulan sabit. Sementara
untuk oleh-oleh, lebih banyak permintaan bentuk bulat panjang. bentuk segitiga
seperti kue sepit, lebih diminati
saat lebaran.
Hamia menjelaskan, kue keukarah
yang dibuat oleh pedagang di Lampisang tidak menggunakan banyak gula. "Jika
banyak gula kue akan lebih keras dan tahan lama," lanjutnya. kue keukarah yang dipasarkan di Lampisang
tersebut rata-rata bertahan 15 hari. Namun kue yang dibuat di luar Lampisang
tahan sampai 3 bulan masa expired.
"Bukan hanya gula saja yang berpengaruh, garam yang hanya sedikit
saja, juga berpengaruh pada adonan tepung," katanya. Garam ini akan
berpengaruh saat di goreng. Menurut Hamia, bila kebanyakan garam akan menjadi
cepat gosong, hangus. Takaran yang dipakai oleh Hamia adalah 1 kilogram tepung
beras, 2 gelas gula pasir, 4 gelas air dan diseberi sejumput garam untuk
menambah rasa.
Harga untuk setiap talam yang menghabiskan tepung 1,5 kilo ini, ia
menghargai Rp. 120 ribu. Sedangkan untuk fijual eceran di kedainya, ia menjual
Rp. 5 ribu. "kami kurang stategis, kalau tidak lebih banyak lagi
lakunya," keluhnya. Kedai Kana Kue milik Hamia memang terletak paling
ujung diantara 17 kedai lain yang berjualan disepanjang jalan Banda
Aceh-Meulaboeh. Tujuh tahun yang lalu, hanya tiga kedai kue tradisional yang
berjualan di sini.
Para penjual kue tradisional di Lampisang ini pun, sudah memiliki koperasi.
Koperasi Bungoeng Jaroe, yang memberikan kemudahan kepada anggota untuk
melakukan peminjaman modal. "Kami juga butuh modal untuk memutar uang
sebagai modal buat kue lagi," katanya. Kedai kue milik Zainal menjual 50
jenis kue tradisional khas Aceh.
Walaupun kue ini hanya diminati wisatawan dan perayaan tententu saja,
pembuat kue tradisional masih banyak semangat untuk terus menjual kue khas Aceh
yang mulai dilupakan oleh masyarakat Aceh sendiri. []
0 komentar:
Posting Komentar