Kamis, Maret 7

Kerkoft, Jembatan Sejarah Aceh


Museum diam yang bertabur nisan, sebuah pojokan tanah di tengah kota yang menjadi jembatan masa lalu, masa sekarang dan masa datang. Saksi yang menjadi bukti kehebatan pejuang Aceh saat melawan penjajah. Tentara Belanda yang mati pada masa perang Belanda ini disemayamkan di sini, Belanda menamakannya Kerkorf. Orang Aceh menyebutnya “Kerkoft Jrat Kafe”.

Sebanyak 2200 nama terpajang pada tembok gerbang, dibagi menurut tempat dimana tentara ini gugur. Gerbang tersebut berukir nama-nama tentara yang gugur di medan perang melawan masyarakat Aceh menjadi dokumentasi sejarah. Sejak tahun 1873 hingga 1942 adalah perang Belanda di Aceh yang memakan banyak  nyawa dan harta.

“No document, no histori,” ujar Drs. Rusdi Sufi, Sejarawan yang kini berkantor di dalam kawasan kerkort tersebut. Kerkoft merupakan jejak aktifitas pada masa lampau berupa benda termasuk dokumen yang menjadi bukti sejarah kepada dunia. Kerkoft ini kuburan militer tentara Belanda dan KNIL, kedua terbesar. Kuburan militer pertama berada di negara Belanda sendiri.

Dalam kitab Bustanul Salatin yang dikarang oleh Syaikh Nuruddin al Raniri, Kerkoft pada masa kejayaan Sultan Iskandar Muda digambarkan sebagai sebuah medan atau padang yang luas. Tempat Putro Phang, Istrinya melepaskan pandangan setiap ia berada di atas Gunongan.
Memasuki masa peperangan melawan Belanda, setiap meternya terdapat kuburan, padat, setiap ruang tanah digunakan untuk mengubur jasad warga asing yang meninggal saat perang Belanda terjadi.

Sejak awal ekspedisi  pertama tahun 1873 hingga 1874, tentara Perang Kerajaan Hindia Belanda  (KNIL) berdiam diri di Krueng Aceh. Selama 70 tahun, 1/3 tentara Belanda ini gugur di Aceh dikubur di sini.

Menurut Rusdi, tanah ini adalah sebuah kebun milik seorang yahudi yang tinggal di Aceh. Borhouwer adalah pemilik tanah yang menghibahkan menjadi kuburan tentara militer Belanda. Yang kemudian tempat ini kita kenal dengan Gampong Blower. Tepatnya di Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh.

Tidak semua tentara yang gugur sempat dikubur disini, terkadang kuburan mereka berada di wilayah Aceh lain dan tidak disemayamkan di Kerkoft. Namun nama mereka turut terpampang di senarai nama pada gerbang masuk. Saat perang masih berkecamuk, tidak ada nisan yang menyatakan nama atau tempat. Penanda kuburan hanya berupa nomor yang di tulis pada pelat kayu dan di pancang di atas kuburan.

Namun, teman-teman tentara yang masih hidup ini, mengumpulkan uang untuk membuat nisan yang layak, agar nama dan tempat dapat di cetak pada nisan-nisan tersebut. Terkadang pada satu nisan terdapat banyak nama dalam satu resimen atau kompi.

Tidak semua penghuni Kerkoft adalah tentara, ada yang berprofesi sebagai dokter, pastor dan pastinya pemilik tanah tersebut. Wanita dan anak-anak asing korban perang juga disemayamkan di sini. Bahkan penduduk asing yang meninggal karena berbagai macam penyakit juga mendiami Kerkoft. Seorang gubernur sipil Aceh asal Belanda, Mr. A Ph. Van Aken juga memiliki nisan di Kerkoft ini. Ia berjasa telah memugar Masjid Raya dengan menambah dua kubah pada mesjid raya Baiturrahman.

Namun, terdapat seorang pangeran muda Islam di dalam Kerkoft. Ia yang dieksekusi karena difitnah berzina, sehingga ayahnya menghukum mati dan menguburkan ia terasing dari keluarga. Podjoet Meurah Pupok adalah anak dari Sultan Iskandar Muda, raja yang berkuasa saat itu. Nisan Podjoet sangat berbeda dengan nisan penghuni lainnya. Nisan ini terbuat dari batu kapur yang berukir seperti layaknya orang islam pada masa itu. Sedangkan nisan lainnya terbuat dari semen dan marmer yang telah tersentuh modern.

Dari nama Podjoet lah, yang berarti pangeran muda, sebuah yayasan dibangun untuk memugar kerkoft menjadi museum peninggalan Belanda. Setelah lama perang mereda, tanggal 29 Januari 1976, seorang kolonel pensiunan tentara Belanda bernama Brendgen, berkunjung ke Aceh untuk melihat kondisi Aceh dan kuburan tersebut. Ia lah yang berinisiatif mendirikan sebuah yayasan untuk memugar dan membangun kembali Kerkoft agar dapat menjadi sebuah dokumen bersejarah. Yayasan Stichting Peutjut Found didirikan untuk menyerap dana dari negeri Belanda yang dibutuhkan untuk membangun dan merawat kuburan tersebut.

Brendgen juga yang berusaha memindahkan jasad J.H.R Kohler, jendral yang mati di tembak di depan Masjid Raya. Pada tahun 1978 jasad Kohler yang semula berada di Batavia (kini Jakarta), setelah 105 tahun dipindahkan agar berkumpul dengan para tentaranya di Aceh. Atas permintaan masyarakat Aceh, kuburan ini dikuburkan di Peutjut Kerkoft dengan upacara militer saat itu. Permintaan masyarakat ini untuk membalas kebaikan pemerintah Belanda yang telah membangun dan merawat kuburan Abdul Hamid yang bertugas sebagai Duta Aceh di Belanda pada tahun 1602.

Semasa Jepang menduduki Aceh, banyak nisan di Kerkoft yang dihancurkan oleh orang tak dikenal. Nisan petinggi yang memiliki gelar khusus terdapat Patung dada atau patung wajah di tembok nisan, hilang. Sebuah patung dada yang terbuat dari perunggu juga raib. Seperti milik seorang tentara KNIL, Letnan H. M. Vis adalah tentara muda yang berbakat dan mendapat penghargaan dari Raja William. Raja Belanda saat itu memberi penghargaan dengan membuatkan ia patung dada dengan wajah  Vis. Kini hanya tersisa pilar dan dokumen pada nisan itu.

Sebelumnya Kerkoft juga pernah dipugar oleh gubernur Aceh Abdullah Muzakir Walad (1967-1978). Hingga kini, pemerintah Aceh mendapat bantuan dana setiap tahun untuk memugar dan mengurus Kerkoft. Dinas Kebersihan dan Keindahan Kota setiap tahun mengecat dan bertanggung jawab merawat Kerkoft tersebut.

Yayasan juga mencetak buku panduan Kerkoft berdasarkan sejarah yang diterjemahkan dalam tiga bahasa yaitu bahasa Belanda, Inggris dan Indonesia. Buku panduan ini biasanya dijual untuk wisatawan.

“Yayasan  Stichting Peutjut Found sekarang kekurangan dana. Karena orang Belanda yang perduli tentang sejarah sudah tidak ada lagi,” aku Rusdi. Menurutnya generasi muda di Belanda menilai, tidak terlalu penting mengurus kuburan di negri orang.

Sebagai salah satu perwakilan dari Yayasan Stichting Peutjut Found yang berada di Aceh, ia masih peduli akan sejarah. Sebagai dosen sejarah dan dosen bahasa Belanda, ia menganggap dokumentasi yang ada pada kuburan dan gerbang kerkoft penting untuk memperlihatkan kepada dunia, bahwa bangsa Aceh pernah menumpaskan penjajahan di tanahnya. “Walaupun Aceh sempat dikuasai tetapi tidak pernah ditaklukkan,” katanya.

Rusdi berinisiatif untuk meminta kepada Depan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) agar menganggarkan dana pemugaran Kerkoft. Sehingga peninggalan sejarah ini menjadi tanggung jawab Pemerintah Aceh. “Kerkoft merupakan aset pariwisata yang harus dikembangkan dan dijaga,” ungkapnya. Ia mengatakan, DPRA telah memberi respon yang baik dan bersedia untuk membantu perawatan kuburan militer Belanda ini.
**



0 komentar:

Posting Komentar