Rabu, Januari 29

Write me song

http://www.youtube.com/watch?v=aBKcKQHZXks

I will come away with you in a nite
I will come with you on a bus
And i want walk with you on cloudy day
Feel the yellow grass grow knew hight

Come away with me and kiss you on mountaint top
Come away with me and i never stop loving you

And i want wake up in with rain with on tin roof
When i save in your arm
And i will kiss for you
Never stop loving you
Write a song to me

Minggu, Januari 12

Kapan Kita Benar-benar Jatuh Cinta ?

Temanku mengaku ia baru saja jatuh cinta pada seorang wanita. Padahal dia baru saja kawin sama pujaan hatinya dua bulan lalu. Kami berteman, tepatnya dia soulmateku. Dia juga mengaku telah lama sayang padaku dan selalu mengatakan i love but i can't. 
Dalam hidupnya, dia mengaku hanya ada dua perempuan yang dia rindu. Aku dan istrinya. 

Sialnya, ia merasa benar-benar jatuh cinta bukan kepada kami namun ada PIL yang membuat dia merasa meleleh saat bertemu. 

Begitu kisah pertemuannya.
Malam itu tanggal 31 Desember 2013, masih pukul 21.00 wib. Ia bersama teman kantor akan menghabiskan malam dengan BBQ. Ditugaskanlah dia untuk membeli arang di pasar. Ada satu kedai yang masih buka kalau malam tahun baru, ujar temannya. 

Pergah dia sendiri untuk membeli arang di sekitaran pasar pagi. Padahal sudah malam. Kedai yang dimaksud tutup. Namun Ia dibekali nomor HP milik yang punya kedai arang. Setelah menelpon, datanglah pemilik suara dari seberang tadi. 

Seorang perempuan semampai menghentikan motor di depannya. Ia membonceng remaja lelaki yang membawa dua goni arang. Si perempuan membuka pintu dengan kesusahan dan mengerHkan sekuat tenaga. Remaja lelaki tadi berusaha menolong, tapi hanya perempuan tadi yang sudah terbiasa buka tutup pintu. Lalu ia mengambil sisa arang pesanan dari dalam kedai. 

"Nggak cukup arangnya. Ayo kita ke rumah aja," kata si perempuan. Temanku mengikuti motor mereka melaju dalam lorong sempit di seberang kedai. 

Sampai di rumah, ada ibunya, adik perempuan dan seorang adik kecil yang sedang mamanggang jagung. Sesekali mereka berebut meniup terompet yang dipegang adik kecilnya. Transaksi selesai empat goni siap di bawa ke markas para lelaki. 

"Jadi cewek semampai itu yang jualan arang ?," tanya temanku pada lelaki yang sudah terbiasa belanja di sana. Ternyata mereka ditinggal ayah yang kawin lari dengan seorang perawan. Perempuan semampai sebagai anak bungsu menjadi tulang punggung keluarga. Membiayai segala kebutuhan dan keperluan sekolah ketiga adiknya. Perempuan ini baru saja menutup kedai, sedang pesta jagung bakar bersama keluarga. Mungkin mandipun tak sempat. 

Kurasa pada jam yang sama perempuan lain sedang menempelkan bedak dimuka. Menunggu jemputan acara keluyuran menyambut tahun baru. Temanku terpana dan terbengong memikirkan perempuan semampai dengan senyum di wajahnya yang berminyak. Ia sedang lemas merasa meleleh mengingat perbedaan perempuan ini dengan perempuan kebanyakan. 

"Kalau perempuan cantik, pintar, modis dan menarik sudah banyak seperti itu, mereka pandai membuat diri bahagia. Tetapi perempuan ini berbeda. Ia hidup untuk membahagiakan orang lain, bukan dirinya sendiri," ujar temanku terpaku di depan tungku. 

Sabtu, Januari 4

Sahabat saya lagi jauh

Saya selalu merindukan kegiatan sosial bersamanya. Dia sedang mengadu nasib di ibukota Jakarta. Semua orang di Aceh sedang merindukan gelak candanya.
Kami sering berpetualang ke tempat terpencil, melakukan peliputan untuk blog sendiri. Kami sering diskusi tulisan, dia itu guru saya. Namanya Hamzah Hasballah.

kami punya orang tua angkat yang sama di Pulo Aceh

Tidur siang bareng di Pulo Aceh
malas rotate



Kegiatan Sosial yang kami lakukan bersama Care Anak Gayo saat gempa Gayo

Hamzah saat sidang skripsi S1 di IAIN 2013

Jumat, Januari 3

Dia dan Sepatu (Sepatu Part 3)




“A pair of shoes can change your life. Just ask Cinderella !”




Sepatu menurutku mencerminkan si pemakai, memperhatikan sepatu yang dikenakan wanita suatu kegiatan yang kunikmati akhir-akhir ini. Demi mencari seseorang yang cocok dengan karakter sepatu.


**



Tanah masih basah, matari belum menampakkan sinarnya padahal ayam tetangga sudah berkali-kali berbunyi. Aku masih dalam keadaan pening menyalakan rokok menunggu balasan SMS mu.
Aku sudah sampai simpang rumahmu ni. Buka pintu ya !
Sender: Yunda. 3.40 wib.

Aku berdiri di depan pagar, rumahku tanpa penerang di depan lorong. Menunggu kau diantar oleh taxi bandara. Sekejap kau turun dengan berbagai macam tas dari mobil yang bukan taxi, tapi kau menyebut taxi.

“Lho. Katanya naik taxi Yun?,” tanyaku penasaran memastikan.
“Taxi gelap maksudku. Lumayan lebih murah,” ucapnya santai sambil menyeret tas ke dalam pagar. Aku duduk di tembok gorong-gorong tak juga bangun sambil mengisap rokokku. Kupandangi sepatu baru Yunda. Anak ini belanja banyak kayaknya di Medan. Yunda tak sabar menyeret aku juga untuk masuk dan berkali-kali dia menguap. Matanya sudah layu.

Yunda teman ku, tepatnya soulmate yang baru kukenal dua bulan. Kami cocok pada pemikiran, meskipun kami sering ribut saat diskusi. Sok beda pemikiran, ujung-ujungnya kami setuju satu sama lain. Yunda bekerja sebagai guide travel yang menulis di sejumlah media wisata. Dia sering nginap di rumahku karena kemalaman. Kos Yunda punya jam malam, hanya samapai pukul 23.00 wib. Dan sering susah disuruh pulang kecuali aku mendatangkan pacarku untuk mengusirnya.

“Aku beli oleh-oleh buat kamu,” Yunda mulai membuka bungkusan barangnya. Sebuah buku yang ia janjikan bulan lalu dan tambahan sepatu vibram. “Itu bayaran ekstra karena webnya keren,” katanya sambil merem.

Tak lama dia sudah menjajah tempat tidurku sambil mencopot sepatu. Gaya tidur seperti terjungkal, tanpa membuka kaus kaki. Dasar anak jorok. Membuka sepatunya itu sudah biasa, menggantikan baju untuk dia juga sudah pernah. Dia manusia paling malas dan tidak bisa menahan ngantuk dan pipis.

Pagi itu aku putuskan untuk berbagi tempat tidur. Anggap saja bantal guling empuk yang bernyawa. Matari terik menembus gorden tipis lewat jendela. Rasanya mencolok cahaya ke dalam mata. Aku memunggungi jendela untuk melanjutkan tidur. Susah menggerakan badan, aku baru sadar Yunda sudah memeluk setengah dari tubuhku. Kali ini aku jadi gulingnya. Mati rasa.

Kalau sampai pacarku menyaksikan ini, bisa-bisa hilang masa depanku. Aku memacari  Lala, cewek yang manis dan santun. Mana tau dia kalau aku sering berbagi ranjang dengan wanita lain. Meskipun hanya wujud saja Yunda seperti perempuan.
Kamar terasa gerah dan panas, aku tersadar dengan suara SMS masuk di hanphone.
“Aku udah pulang Min, kasurmu terasa empuk tadi,”
Ya iyalah, aku yang kau tiduri bukan kasur Yunda.
**

Aku menjemput Lala ke Klinik tempat dia bekerja. Setelah hampir 2 jam menunggu akhirnya dia selesai bertugas. Lala mengajak Makan malam di rumah temannya sesama dokter. Selama ini aku selalu menolak, karena selalu saja tidak nyambung dengan pembahasan teman-temannya. Kali ini biarlah aku menyenangkan hati Lala. Sebuah restoran romantic menunggu kami dengan dua orang temannya. “Sayang, ini double date, hanya kita ber-4. Aku mau kamu nyaman dengan makan malam ini ya,” ujar Lala dengan lembut.

Sepanjang makan malam, tidak ada pembahasan yang dapat aku tanggapi. Mereka asik sendiri dengan kisah lama yang tak kumengerti alur pembicaraannya yang agak kecewek-an. Temannya seperti tidak ingin aku masuk dalam pembicaraan. Akupun sibuk meladeni chat Yunda yang tanya kunci rumah. Gawat. Dia pasti mau menginap lagi. Lama-lama bisa tak tahan imanku dibuatnya.

Kami pulang dari restoran menuju ke rumahku dengan mobil Lala. “Motornya besok saja diambil. Kamu kenapa tadi asik sendiri sama HP,” Lala tampak kesal. Aku mencoba menjelaskan, tapi tetap saja seperti tak masuk akal. Akhirnya aku hanya diam. Dan aku tetap yang harus minta maaf pada Lala. Tetap saja Lala merajuk, dan mala mini aku tidak ingin memujuknya. Kami hanya diam hingga tiba di depan rumahku.

Terlihat lampu kamar menyala, Lala curiga tapi dia urung menanyakan kalau ada orang di dalam rumahku. Ditangga kulihat sepatu baru Yunda tergeletak tak tentu arah. Dia juga manusia yang tak tahan pipis, pasti kebelet.

“Heh Boneng… kenapa sepatu tungang langgang gitu, macam dikejar setan,” tanyaku. Dia sudah membuatkan aku teh kelat. “Nih buat kamu. kenapa si Lala? Mukamu suntuk gitu,” Yunda selalu tau apa kejadianku tanpa harus kuceritakan.

Malam itu aku mengerjakan projek website travilling Yunda. Kontraknya lumayan buat tiket pesawat dua orang ke Lombok. Nantinya tiket akan kupesan sesuai dengan cuti Lala. Aku sangat ingin membuat dia tersenyum. Tingkahku selama ini selalu membua dia kesal. Tapi menurut Yunda, malah sebaliknya. Anak kemaren sore ini kadang sok tau.

Lala sudah setuju akan pergi ke Lombok sebulan lagi. Cuti sudah berhasil ia peroleh dari pimpinan klinik. Hanya menunggu sebulan sambil menyelesaikan pekerjaan design web milik si Yunda.

Semingu menjelang liburan kami ke Lombok. Lala datang bertamu ke rumah membawa makanan kecil yang kugemari. Dia merapikan rumah, menyusun buku yang diserakkan Yunda, membersihkan dapur yang diserakkan Yunda, dan mencuci seprei yang ditiduri Yunda dan aku. Tak tega melihat perilaku kami yang tidak menjaga perasaan Lala.
Membersihkan rak sepatu. Dan… “ini sepatu siapa ? koq lebih kecil ?,” Tanya Lala sambil memungut sepatu boot merah milik Yunda. Matilah aku.
“Itu, si Yunda pinjam sendalku kemarin hujan. Takut rusak sepatu barunya,” kataku jujur. Tapi Lala malah tersenyum. “kalian lucu.”

Lala sering menanyakan tenang Yunda, yang setahu dia, Yunda hanyalah klien website ku saja. Yang sering datang berkonsultasi. Dalam hati Lala merasa cemburu, terbaca dari tatapan yang dia curi-curi saat melirik Yunda. Tapi dasar Yunda Polos, dia tidak merasa risih berada bersama pacar orang.
Meskipun gayanya selalu cuek,  dia seorang pendengar yang baik dan perasa.  Ia harus berjuang mencari uang sendiri untuk kuliah yang sering bolong karena kesibukakannya berjelajah untuk tv nasional.

Lala seumuran denganku, dia dewasa, peka dan sangat wanita. Sepatunya paling aku suka, dia selalu memakai sepatu wanita sekali. Pertama bertemu dia menenteng sepatunya pink tanpa hak di mesjid. Saat itu dia kehilangan kaus kaki, dia tampak kebingungan. Lalu dia memakai tanpa kaus kaki, agak kikuk jalannya. Dia melewai dan member senyum untukku. Dia sadar kalau dari tadi aku memperhatikannya. Ternyata dia takut lecet. Saat itu dia masih kuliah di tingkat akhir. Kami berkenalan di halaman mesjid, kami sama-sama menunggu teman yang lagi solat juga. Tiga tahun berkenalan setahun berpacaran. Sangat lama aku menyakinkan cintaku padanya. Lala bukanlah orang yang suka pacaran saat itu. Dan saat ini dia menganggap kami taaruf.

Kadang Lala membohongi orang tua jika ingin berjumpa denganku. Tak baik perempuan menjumpai lak-laki diluar rumah, kata ayahnya. Aku khawatir ayahnya akan keberatan member izin kami berlibur ke Lombok. Seminggu lagi akan berangkat tapi Lala belum juga meminta izin.

H-3 aku sibuk menyiapkan design untuk layout majalah remaja. Agar nanti sewaktu pulang kerjaan tidak menumpuk. Harus begadang dan membuat teh kelat, aku tak bisa minum kopi. Teh ini dibelikan Yunda di airport Jepang, katanya bagus buat yang sering begadang. Seketika aku rindu ingin diganggu Yunda. Sudah sebulan sejak webnya diluncurkan, dia jarang ke rumah. Anehnya kami tidak pernah saling menelfon.
Iseng aku menelfon yunda. Terdengar nada tunggu lagu spongebob. Dasar anak dibawah umur.

HP diangkat, lalu dia berdehem, “Halo… Min ? ada apa? Aku sudah tidur,” Tanya Yunda penasaran dari seberang.
“Nggak, kangen aja, tidak ada yang mengacau lagi di rumahku,” jawabku.
“Iya, aku lagi final di kampus, sibuk kumpulin catatan buat nyontek,” suaranya seperti Yunda sedang berjalan, ada suara gelas lalu dispenser.
“Kau OK sama Lala? ,” Tanya tiba-tiba. 
“Kenapa Tanya gitu, aku dan Lala akur. Kami akan liburan ke Lombok,” jelasku.
“Aku bilang sih, dia nggak dikasi ijin sama orang tuanya. Bukan mendoakan, dia itu anak baek-baek mau kau ajak pula pergi berduaan. Ajak makan bakso aja susah,” Yunda mulai meracau.

Malam itu, aku mencoba memikirkan kemungkinan jika Lala tak jadi ikut. 

Pagi H-2.
SMS masuk dari HP.
Ayah menyuruh Amin datang ke rumah, perihal izin kita ke Lombok.
Sender: Honey. 06.00 wib.

Detak jantungku terasa berdetak lebih kencang, aku gelisah. Merasa lancang mengajak anak gadis orang bepergian. Padahal orang tuanya belum memberikan lampu hijau dengan hubungan kami. Lala terlalu mencintaiku, hingga dia sendiri yang memberikan kelonggaran atas batasan orang tuanya.

Mengenakan baju yang pantas dan sopan. Aku datangi rumah Lala dengan segala konsekuensi. Yang sudah pasti liburan kami gagal.
Sore itu, ayahnya terlihat tenang didampingi ibu Lala, sementara Lala belum pulang dari kliniknya. Dia memintaku menguraikan apa yang kami rencanakan setiba di Lombok. Aku mengeluaran undangan pameran dari tas ranselku. Undangan pameran design Internasional yang tidak mungkin tak kudatangi untuk bertemu designer top dari luar.
Ayahnya mangut-manggut.

“Saya rasa Lala tidak perlu ikut. Saya tidak mengizinkan Lala pergi jauh dengan bukan muhrim. Maaf nak Amin. Saya harus mengatakan keputusan kalian ini membuat saya malu sebagai orang tua. Lala mengambil keputusan sendiri,” ayahnya sedih dengan kelakukan Lala. Ayahnya tidak menyalahkan aku. Tetapi sebagai anak saleh, Lala harusnya menjelaskan keadaan seorang wanita yang tidak muhrim kepadaku.
Aku ini tau apa. Memposisikan sama dengan semua wanita. Jalan-jalan biasa, tidak ada niat mengambil kesempatan pada Lala.

“Saya harus mengawinkan Lala, sepertinya dia harus segera berumah tangga, agar keinginan mudanya perpenuhi jika sudah bersuami. Kami ini orang tua yang terlalu cinta anak kami,” jelas ayahnya.
“Apa yang harus saya lakukan Pak ?,” tanyaku dengan suara yang hampir tidak terdengar. Serak dan terbata.

“Saya ingin mencari imam untuk menjadi suami Lala. Kalau kami merasa bisa membimbing anak saya, bawakan orang tuamu dalam waktu dekat.”

Aku pulang dengan gontai. Jelas aku tak mampu menjadi imam seperti yag dimaksud ayahnya. Aku keluar dari rumah megah itu, sambil melirik barisan sepatu Lala di sudut ruangan. “sudahlah kawan, kau hanya sanggup belikan Lala sepasang sepatu,” kata heels kotak-kotak, hadiah ulang tahun dariku.

Dirumah, aku termenung, mengenang hubungan ku yang tak diinginkan orang tua Lala. Aku tidak paham agama sama sekali, solatpun jarang, hanya rajin di depan Lala, aku hanya menyenangkan dia. Bagaimana aku terus menipu Lala kalau jadi suaminya.
Hari keberangkatan aku masih belum packing barang untuk berangkat sendiri. Hari itu juga aku dan Lala setuju berpisah.

“Doakan aku dapat jodoh sebaik kamu Amin. Aku akan dijodohkan dalam waktu dekat. Ayah tidak mau aku durhaka. Amin jaga diri baik-baik di sana ya. Jangan lupa solat,” suaranya tertahan dengan isak yang dibuat setegar mungkin. Aku duduk
HP berbunyi, SMS masuk, aku tersedot dari lubang hitam yang dalam.
“Aku ke rumah ya boneng, mau dibelikan apa?,”
Sender: Yunda 00.20 wib.
Hanya sebentar terdengar dia mematikan mesin motornya yang berisik dari depan lorong. Biasanya dia mendorong motor sampai garasi, agar suara motor ak menggangu tetangga.
“Taraaa… aku bawa sate langgananmu. Aku nginap disini ya, kos ku tutup,” ucapnya ceria seperi biasa. Aku tidak peduli dan pura-pura tidur lagi. Yunda ke toilet untuk pipis dan ke dapur menyeduh teh kelat untuk kami berdua. Itu ritualnya.
Kami makan sate, minum teh, merokok. Sambil mendengar kisah nyonteknya selama final. Lalu dia celingak-celinguk memeriksa meja kerjaku.
“wow… kamu dapat ya undagan pameran design ke Lombok,” Yunda menempel undangan di jidatku.
“Aku ikut dong Amin.. kan untuk dua orang nih, yaya.. aku bayar tiket sendiri. Final ku udah selesai kok. Aku lagi libur,” Yunda merayu ku.
Barulah aku mengambil tiket yang sudah tertera nama ku dan Lala disitu. “Owhh.. ajak Lala ya? Ya sudah lah,” Yunda tidak keberatan sama sekali. Lalu dia mulai merasa ada yang aneh dengan tingkahku.

“Kami putus,” kataku. Aku menunggu reaksinya. Yunda sampai mangap dan tidak dapat berkata-kata. Dia mengemgam tanganku dan memeluk lenganku sambil merebahkan kepala di bahuku. Tidak berkata apa-apa. Kami hanya terdiam hingga satu jam. Yunda tau bagaimana kami saling cinta. Meski dia kadang menjadi pemicu Lala cemburu.
Malam itu kami tidur saling berpelukan. Lupa mengunci pintu, menutup jendela dan sepatu tetap berserak didepan pintu kamar.

Ketika bangun aku lihat Yunda mondar mandir seperti diburu sesuatu.
“Apa keputusanmu sama tiket pesawat ini?,” muka Yunda bertanya serius.
“Aku nggak mau pergi sendiri,” aku menjawab sekenanya.
“Aku yang ikut Amin,” katanya. Kami melirik jam ditangan masing-masing. Melihat waktu cek in pada tiket, hanya tersisa setengah jam lagi.
Tanpa mandi aku packing baju dan membereskan laptop. Yunda hanya sisiran dan tanpa membawa baju sehelaipun dalam ransel camera nya. Kami bergegas memacu trail milik Yunda, menembusi jalan tol ke bandara. Sepintas kulirik dari spion Yunda memegang tiket sambil memencet iPhone, dia cek in lewat HP nya. Kami hampir ketinggalan pesawat perihal nama Lala di tiket.

Setelah memasang seatbelt, kami tertawa-tawa di dalam pesawat tanpa memperdulikan penumpang yang kesal sudah menunggu kami terlambat.
“Lalu kamu pakai apa nanti disana Yun,” Tanya ku melihat dia santai saja tidak bawa apapun kecuali cameranya.
“Aku pakai sempak mu yaaaa,” goda Yunda melirik manja.
Akhirnya kami tidur lagi di pesawat yang membawa kami ke Lombok. Setelah bangun mudah-mudahan aku dapat melupakan kisahku dan Lala.
Pramugari membangunkan kami yang masih kurang tidur ini. Yunda bersandar pada bahuku sambil memeluk lengan kiriku. Diluar gerimis menyambut kami, tetapi ada cahaya yang akan memgambar pelangi. Pasti.

“Pak, ini sepatu pacarnya, sudah terseret sampai ke depan tadi,” kata pramugari cantik sambil sedikit membungkuk. Kuperhatikan dan kuambil sepatu Yunda, boot takut hujan. Jenis sport yang sangat cocok dengan kepribadiannya. Yunda terbangun dan merampas sepatu dari tanganku.
“Hanya sepatu jenis ini yang dapat mengerti kamu Amin,” kata di depan mukaku dengan wajah malas.
“Boot takut hujan,” ejekku. Ternyata hujan akan merusak warna merah dikulit sepatunya. Karena dia malas merawat sepatu.

Kami harus menunggu penumpang yang berdesakan ingin turun dari pesawat. Hawa hujan Lombok menyambut kedatanganku di musim hujan ini. Yunda menunggu di depan tangga menunggu aku menikmati gerimis.
“oiii orang kampong, enggak pernah kenak ujan ya,” teriaknya sambil menendang kakiku. Mulailah kami kejar-kejaran hingga kena tegur satpam airport. Meski sepatunya kena cipratan, dia tak peduli lagi.
Yunda, aku berjanji akan merawat sepatu boot merahmu. []

Rabu, Januari 1

Magnet kantong

Sepatu merah memanggil manggil darindalam toko. Uang dikantong memang cukup untuk membuat aku nampak keren. Sneakers itu seperti sangat cocok di kakiku yang kurang ukuran. 

Undangan datang dari Pulo, acara maulid yang paling seru. Kita akan makan nasi kenduri lagi di atas ketinggian 85 meter. Ups.. Di sana seorang bayi pasti menantiku. Mulai kuingat-ingat keperluan yang mendesak untuknya. Aku harus beli. Tetapi uang sangat terbatas. 

Menurut intel pyong yang, istilah yang kupinjam dari sosial media temanku. Bayi lucu yang kehilangan ibu itu, sangat lesu. Ia tak dapat asi. Lalu harus kupikirkan suplemen apa yang dapat membuat orok ini lucu lagi. 

Aku berfikir. Tak dapat tidur. Insomnia lagi.

Barusan terfikir untuk meminta asi temanku yang baru memiliki bayi. Mungkin bisa aku bawakan ke pulau itu untuk si lucu. Cukupkah hanya sekali ?  Aku berfikir lagi. 
 []

Kita lacur si penguasa

Saya pernah kecewa seperti kalian dalam dunia pelacuran. Keringat tak dihargai, padahal kita menjual harga diri. Untungnya bukan diri modal yang kita jual beli. (Tiba2 merasa keren)

Namun saya sudah ikhlas. 

Saya mengalaminya setahun lalu. Saya dipecat karena kejujuran, harusnya saya menuntut bayaran pesangon. Tapi di rumah lacur tempat saya bekerja, kesalahan, tanggung sendiri, tak peduli dipecat atau mengundurkan diri. Dengan gaji hanya seperempat bayaran. Belum pantas dengan harga yang sudah ditetapkan oleh penguasa, saya mencoba bertahan. Karena saya menemukan jiwa saya di tempat ini. 

Padahal pemilik tempat lacur ini sedang berkoar mencari muka. Melakukan pencitraan bukan hanya dari buku kisah sepatu. Ia bicara kemiskinan. Sementara saya yang melacur di pantinya, sedang teraniaya. Sialnya, bos kami bergairah menjadi penguasa. Calon presiden yang muncul di iklan jamu, yang sering koar tentang aib sebangsanya. Ada juag mahasiswa buta yang mengagumi kuliah umumnya. Padahal dia memeras keringat kami. 

Selama bekerja di sana hanya pada Ojet, saya berani kemperlihatkan slip gaji. Lebih rendah dari pelacur yang berkerja di loron malam. Karena Ojet proyes, waktu itu saya mulai malas mencari sumber pencaharian. 

Gaji Rp5000 per tulisan, hanya cukup untuk bensin seliter. Kau harus kreatif cari pelanggan agar berita dimuat di teras depan tempat pelacuran. Saat itu teras memang sering jadi milikku. Tapi aku tak pernah sejahtera, karena duduk di teraspun hanya dapatkan tiga kali lipat dari biasanya. Cukup makan siang saja. 

Meski kami lacur media, kami punya harga diri. Cuap-cuap kami tidak mendapat suntikan dari humas sana-sini. Karena cuap kami berisi. Berani. 

Bagaimanapun tempat pelacuran itu kini sudah miliki mesin sendiri. Jadi ia mulai bersaing mempercepat pagi. Selamat melacurkan diri teman-teman yang masih mempertahankan nasib anak istri. Aku mundur karena sudah tak bisa diatur lagi. []