Minggu, Juni 30

The mint heart


Mencintaimu seperti menikmati seporsi mint ice cream. Kebekuan hatimu, dingin menyentuhku. Tak cukup satu sendok untuk merasamu. Butir pahit yang melebur di dalamnya justru ingin menyendok lagi, dan lagi ....

Rabu, Juni 5

Mengubah Prilaku, Kurangi Jumlah Sampah di TPA


Banda Aceh - Sang surya baru saja bangkit dari balik gunung Seulawah. Langit masih meremang, saat burung baru bangun dari mencicit di dahan. 

Segeromban pria naik ke dalam dump truk untuk memulai baktinya pada kota. Segerombolan lagi diturun dari mobil pick-up satu persatu pada ruas jalan yang sudah ditentukan. Membawa peralatan sesuai dengan tugas masing-masing.

Saat gerombolan lain bersiap memulai hari dengan kegiatan amal besar hari ini, para pekerja ini tak peduli dengan gelar hari yang dinamai dunia. Saat warga kota yang mereka manjakan melakukan penghijauan. Para pekerja ini tetap membersihkan kota seperti biasa. Dengan kaos lusuh biru atau oren, seragam ini kerap dikenakan bersama sarung tangan, penutup muka yang hanya menyisakan biji mata. Entah untuk menyaring bau, entah untuk menghindari debu jalanan. Mereka setia bekerja walau bukan dihari lingkungan hidup sedunia yang diperingati setiap 5 Juni. 

Truk biru berlalu-lalang melintasi Kampung Jawa tempat para pekerja ini menuntaskan tugasnya. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) ini kini menjadi gunungan sampah tempat sisa pembuangan seluruh warga Kota Banda Aceh dan termasuk Aceh Besar. 

Sebanyak 168 ton sampah setiap hari dikumpulkan dari 224 ribu jiwa jumlah penduduk Banda Aceh, ditambah penduduk Aceh Besar disekitaran kota yang sampahnya dibuang Ke TPA tersebut. Untuk Banda Aceh saja terdapat 90 desa dari sembilan kecamatan. 

Pembuangan dari rumah tangga merupakan sampah terbanyak yang dikumpulkan. Selebihnya sebanyak 15 persen di pilah di TPA dan dicacah yang berasal dari sampah organik. Cacahan sampah ini akan digunakan sebagai penutup sampah atau bio filter yang membantu pembusukan. Belum lagi hari besar sepeti megang, puasa dan jika ada demo, sampah bisa mencapai 200 ton per hari. 

"Paling banyak sisa makanan rumah tangga yang tergolong sampah organik. Selebihnya plastik belanjaan rumah tangga," kata Kepala Dinas Kebersihan Kota Banda Aceh, Jalaluddin, Selasa (4/6/2013). Padahal sampah ini masih bisa dimamfaatkan dan dijadikan kompos oleh masyarakat, katanya. 

Selama ini pihak Dinas Kebersihan Dan Keindahan Kota Banda Aceh sudah mengsosialisasikan kepada warga secara door to door untuk kampanye. Dinas mengenalkan kepada warga program 3R yaitu Recycle (daur ulang), Reuse (menggunakan kembali), dan Reduce (mengubah bentuk). Melalui pelatihan dan pemahaman tersebut sampah Banda Aceh dapat dikurangi setiap tahunnya. 

Setidaknya 17 persen sampah berkurang karena pola hidup warga kota yang sedikit berubah. "Masyarakat sudah mengerti bagaimana mengolah sampah menjadi barang yang dapat digunakan kembali. Walaupun masih sedikit nilai ekonomisnya," ungkap Jalal, sapaan Kepala Dinas yang belum lama menjabat itu. 

Pada tahun 2012 dinas membutuhkan dana sebanyak Rp1,5 miliar untuk operasional dan pemeliharaan TPA ini. Dana ini dibutuhkan untuk fasilitas pengelolaan sampah organik, pemamfaatan gas landfill dan intermediate Treatment Facility (ITF) sebagainpembangkit listrik. 

Kota Banda Aceh telah masuk dalam nominasi Adipuran Kencana, penghargaan lingkungan dan kota bersih. Hal tersebut karena juri menilai Banda Aceh memiliki potensi mendapatkan gelar tersebut. Pantas jika kota yang telah menerima tiga kali Adipura berturut-turut ini dilirik dan dimotivasi untuk menata kota hijau dan warga sadar lingkungan. 

Saat sosialisasi nominasi Adipura Kencana tersebut, seorang peserta yang diundang Pemko dari Komunitas Hijau meminta kepada walikota. Agar Pemko dapat memberikan intervensi kepada sejumlah supermaket di Banda Aceh untuk menggunkan kantong hasil daur ulang. Walikota Mawardi menyambut baik usulan komunitas masyarakat tersebut. 

TPA Kampung Jawa di Kecamatan Baiturrahman ini dibangun pada tahun tahun 1994 sebagai upaya kota Banda Aceh untuk meraih penghargaan Adipura. Sistem TPA yang sudah memenuhi syarat kota bersih dengan sistem operasional Sanitary Landfill sejak 2009, memudahkan pengolahan sampah yang bertujuan agar tidak mencemari lingkungan. "Memang TPA di kampung jawa belum terlalu ideal. Tetapi kita akan pindah ke TPA di Blang bintang yang lebih baik lagi," ungkapnya. 

Kini TPA kampung Jawa yang memiliki luas 12 hektare itu telah bertambah ketinggian menjadi 12.6 meter Di Atas Permukaan Laut (mdpl) dari ketiggian minimum awal tidak diketahui, yang pasti TPA tersbut sangat rendah dari permukaan laut. Titik ketinggian paling rendah di Banda Aceh adalah 0.8 mdpl. 
Sejak gelombang tsunami menerjang Banda Aceh, TPA ini telah rata dengan tanah dan mulai diisi dengan sampah tsunami dan sampah warga kota dan sebahagian Aceh Besar hingga sekarang. 
Dinas Kebersihan Kota Banda Aceh telah membebaskan lahan baru untuk pembuangan sampah di Blang Bintang, Aceh besar. Seluas 200 hektare dipersiapkan untuk mengganti TPA kampung Jawa. "Kalau bisa TPA baru ini untuk selama-lamanya," pungkasnya. 
Pemko telah menyerahkan sebundel rancangan qanun tentang sampah yang sudah berada di tangan DPRA/Panlek. Ia berharap adanya perubahan prilaku dikalangan masyarakat Banda Aceh dan Aceh Besar agar kuota sampah dapat dikurangi setiap saat. 

"Prilaku mayarakat untuk mengolah sampah memang belum bernilai secara ekonomis. Secara bisnispun belum menguntungkan. Sehingga pemerintah masih mengsubsidi untuk lingkungan," akunya. 

Ia yakin dana yang dibutuhkan untuk biaya operasional akan terus bertambah. Namun dapat dikurangi jika kita lebih sadar dan peduli akan lingkungan. [Yanti Oktiva] 

Nilai Rencong Sebagai Benda Pusaka


Ia berdiri tegak melawan angin musim barat di ujung tebing kawasan Lamuri. Memicingkan mata, memastikan kapal asing benar-benar akan tiba hari ini. Sesekali ia menabik untuk menghalau silau dari matahari yang sudah naik. 
Ia berbalik kearah pasukannya yang siap menunggu aba-aba. Ia mengangkat rencong seraya berteriak, "Kaphe sudah datang, kita akan berperang. Pasukan siap ????, " tanya laksamana, Malahayati. 

Rencong diangkat bersama gemuruh sahutan suara para wanita pasukan Inoeng Balee dalam suatu perlawanan menentang Belanda yang akan berlabuh di Dermaga Kreung Raya. 

Laksamana Malahayati adalah pejuang Aceh masa kolonial Belanda ingin menguasai Aceh. Dengan rencong, senjata kebangga milik bangsa Aceh, ia mempersenjatai ratusan perempuan yang berada dibawah panji Inoeng Balee yang bersarang di bibir tebing Kreung Raya. Rencong merupakan senjata orang Aceh untuk berperang dan simbol agama dan budaya masyarakat.

Dari segi bentuk, rencong memang didesain berdasarkan tulisan Basmallah, yang mencerminkan kepercayaan masyarakat yang fanatik terhadap ajaran Islam. 

Zaman berganti, fungsi rencong semakin berbeda mamfaat dan tujuan. Menyematkan rencong di pinggang merupakan budaya bagi kaum lelaki zaman setelah kolonial berlalu. Setelah bangsa penjajah pergi, senjata ini berfungsi sebagai lambang keperkasaan. 
Memasuki zaman kemerdekaan hingga sekarang, kita mendapati rencong sebagai simbol budaya dalam berbagai acara. Rencong hanya dipakai saat mengenakan pakaian adat Aceh dalam even-even tertentu. 

Kini rencong hanya diminati oleh kalangan tertentu. Dari kampung pembuat rencong, Baet Mesjid, Aceh Besar, pembeli rencong kini terbanyak dari wisatawan. 

Dapat dipastikan dari pemesanan rencong sepanjang tahun hanya untuk souvenir. "Toko sering pesan untuk souvenir, kalau ada pesanan untuk pejabat paling sampai setahunan," ujar pengrajin rencong, Dani, saat saya temui di tempat kerjanya, Mei 2013. 

Gampong Baet dikenal sebagai wilayah penghasil rencong utama di Aceh. Pengrajin menempah rencong untuk memenuhi permintaan wisatawan yang dibeli sebagai buah tangan.

Para kaum lelaki Gampong Baet Mesjid, menyelamatkan budaya Aceh dengan menjadi pengrajin rencong untuk meneruskan tradisi nenek moyang. Sekitaran 100 orang yang kini berprofesi sebagai pengrajin di Gampong Baet Mesjid. Masih ada dua desa lagi yang kaum lelakinya juga membuat rencong yaitu Gampong Baet Lam peuot dan Baet Meusagoe. 

Setelah berkunjung ke desa pengrajin rencong, saya mengetahui, benda pusaka ini kini dibuat dari berbagai barang bekas. Media tempat saya bekerja menolak sudut penulisan rencong dengan tema "rencong dari barang bekas". Mungkin dengan alasan tidak mau menjatuhkan citra benda ini yang memiliki nilai budaya. Beberapa teman jurnalis juga tidak setuju nasib rencong yang menjadi kebanggaan itu, saya jatuhkan maruahnya. Tetapi adakah yang peduli dengan keberlangsungan rencong dan murahnya upah para pengrajin? Sehingga mereka harus mengganti dengan semua barang bekas yang disulap menjadi bernilai dari segi ekonomi dan budaya. 
**

"Bahan kuningan untuk mata rencong saya beli di tukang butut dalam berbagai bentuk dan harus dileburkan lagi," kata Dani. 

Kemudian Kuningan ini dibawa pulang ke gampongnya, untuk dileburkan dan dicetak sesuai ukuran. Tempat cetak ya pun hanya ada di Gampong Baet tersebut. "Kuningan bekas kami beli perkilo Rp40 ribu. Sekilo paling dapat 10 mata rencong," jelasnya. 

Sementara gagang rencong terbuat dari tanduk kerbau, yang diperoleh Dani dari sejumlah pasar daging di Aceh Besar dan Banda Aceh. "Sepasang tanduk kerbau biasanya dijual dengan harga Rp30 ribu," ungkap lelaki yang telah berprofesi sebagai pengrajin sejak lulus SMA. Harga tersebut biasanya berukuran 30 hingga 40 cm dihuting dari panjang tanduknya. Bukan hanya gagang yang menggunakan tanduk, sarungnya pun 99 persen terbuat dari tanduk, sisanya dari lem dan plastik berwarna putih susu sebagai warna padanan warna. 
Plastik ini berasal dari AC bekas, Personal Komputer (PC) bekas dan Kibas Angin Bekas dengan warna putih sebagai pengganti gading gajah. Gading gajah sendiri sebagai lambang keperkasaan raja Aceh yang termasuk, Sultan Iskandar Muda. 

Dani mengaku, Ia tak pernah sepi pesanan dari beberapa toko souvenir di Banda Aceh. "Kami di sini kerja tergantung pesanan, kalau banyak yang pesan, kadang harus kerja hingga malam," ujarnya saat ditemui di tempat pembuatan rencong didepan rumahnya. Jika banyak even wisata dan budaya, Dani akan membuat rencong lebih banyak, terkadang dibantu oleh keponakannya untuk menghaluskan rencon tersebut. 

"Tahun ini pesanan agak sepi, pameran pun sudah kurang dari tahun-tahun sebelumnya," pungkas lelaki asli Baet, Aceh Besar ini. Memang harus begitu kehidupan para pengrajin, jika peminat benda asal Aceh saja diminati orang luar Aceh. [Yanti Oktiva]