Kamis, Mei 23

Cawan hati

Cawan wadah untuk mengisi air. Bak hati yang ingin diisi cinta yang selalu diharap penuh. Namun seseorang terkadang meminum isinya dan mencuci cawan agar ketika meminum jenis minan lain tak meninggalkan bekas rasa air yang lama. 

Seperti hati yang pernah terisi jika sanger telah habis, harus segera dibilas. Sehingga jika kau ingin mengisi teh tak tersisa aroma kopi pada cawan yang sama. 

Setelah sekian banyak minuman berbeda mengisi cawanku, kini Ia kosong. Seakan tak ada lagi jenis minuman yang akan singgah di cawan ini. Bukan tak bisa mengisi minuman yang sama. Tetapi mereka semua mengecewakan. Selalu memin habis tanpa ingin mengisi kembali. 

Kini cawanku hanya bisa menunggu jenis seperti apa akan kunamankan cawan ini. Cawan sanger kah, cawan teh hangat kah, atau cawan kopi tanpa gula. 

Ibu selalu berpesan, agar aku menunggu hari raya. Sirup tak akan pernah habis dan membiarkan cawan kosong melayani tetamu. Hari itu penuh berkah. Cawan sebagai simbol Silaturrahmi antara keluarga, simbol hari yang suci. 

Tanpa perlu pemanis tambahan, sirup pilihan pelepas dahaga setelah sekian lama cawan berpuasa.  Ada benarnya pikirku. 

Tahukah ibu, cawanku terlalu lama berpuasa. Dari Rajab hingga menunggu Ramadhan datang. Jika tak berkesempatan pada Hari raya fitri ini, aku akan berpuasa lagi hingga Hari raya saat ibu ke tanah suci. 

Sedih datang setelah membaca puisi Aan

Puisi mu mengenangku akan ibu. Kau dan segala dosa. Tiga hal yang harus selalu kuingat. Mereka selalu hilang dalam ingatkan. Tetapi tidak dari hati.

Tiba-tiba setelah aku membaca puisi yang kau kirimkan saban Kamis, Kepadaku. Sudah sebulan aku ingin melupakanmu. Dan tiba-tiba saja aku ingin membeli ibu sepotong mukena polos seperti yang Ia pernah minta kepadaku.

Lalu seketika aku menjadi puitis seperti yang engkau inginkan. Aku yakin kau selalu menangisi perempuan yang telah pergi namun ia selalu kau kenang. 

setiap malam kau melantunkan isi hatimu yang hancur akibat perempuan lain. Tahukah kau, lelaki, aku hanya ingin mendengar puisi cinta yang kau buat untukku. Hanya ingin melihat kau tersenyum saat memandangku. 

Pandanglah aku sebagai masa depan yang akan menemani hari tuamu. Jika kau memandangku sebagai perempuan itu, Maka kau akan mati terkubur kenangan yang kau gali sendiri bersama malam yang kau ciptakan bersamamu.

Bisakah kau menelfon untuk menanyakan ibuku. Mungkin lebih baik kau tak menelfon jika hanya kau tidak setuju pekerjaanku. Puisi bukan pekerjaan yang harus kubeberkan. Puisi akan terus kucipta untukmu agar tak mengurangi nilai cinta yang kulukiskan melalui kata. 

Jika kau patah hati, lalu melukai diriku. Maka aku hanya akan menggoreskan tinta dengan darah dan air mata. (Macam koran kuning aja). 

Tahukah ibu, dia lelaki yang membuatku terlalu lama menunggu. Ibu harus menunda saat bahagia itu. Saat dia jadi milikku. 

Kamis, Mei 9

Dimensi

seperti hujan yang turun menyeruakkan bau
seperti kau pergi saat aku menyambut cintamu
kita tak tau pasti, apakah salahku atau salahmu
seperti bau yang menguap itu, tak pasti
bau hujan atau panas atau tanah atau aspal

yang pasti kau telah mencoba mendapatkan hatinya. 
Akuupun demikian.