Rabu, Juni 5

Nilai Rencong Sebagai Benda Pusaka


Ia berdiri tegak melawan angin musim barat di ujung tebing kawasan Lamuri. Memicingkan mata, memastikan kapal asing benar-benar akan tiba hari ini. Sesekali ia menabik untuk menghalau silau dari matahari yang sudah naik. 
Ia berbalik kearah pasukannya yang siap menunggu aba-aba. Ia mengangkat rencong seraya berteriak, "Kaphe sudah datang, kita akan berperang. Pasukan siap ????, " tanya laksamana, Malahayati. 

Rencong diangkat bersama gemuruh sahutan suara para wanita pasukan Inoeng Balee dalam suatu perlawanan menentang Belanda yang akan berlabuh di Dermaga Kreung Raya. 

Laksamana Malahayati adalah pejuang Aceh masa kolonial Belanda ingin menguasai Aceh. Dengan rencong, senjata kebangga milik bangsa Aceh, ia mempersenjatai ratusan perempuan yang berada dibawah panji Inoeng Balee yang bersarang di bibir tebing Kreung Raya. Rencong merupakan senjata orang Aceh untuk berperang dan simbol agama dan budaya masyarakat.

Dari segi bentuk, rencong memang didesain berdasarkan tulisan Basmallah, yang mencerminkan kepercayaan masyarakat yang fanatik terhadap ajaran Islam. 

Zaman berganti, fungsi rencong semakin berbeda mamfaat dan tujuan. Menyematkan rencong di pinggang merupakan budaya bagi kaum lelaki zaman setelah kolonial berlalu. Setelah bangsa penjajah pergi, senjata ini berfungsi sebagai lambang keperkasaan. 
Memasuki zaman kemerdekaan hingga sekarang, kita mendapati rencong sebagai simbol budaya dalam berbagai acara. Rencong hanya dipakai saat mengenakan pakaian adat Aceh dalam even-even tertentu. 

Kini rencong hanya diminati oleh kalangan tertentu. Dari kampung pembuat rencong, Baet Mesjid, Aceh Besar, pembeli rencong kini terbanyak dari wisatawan. 

Dapat dipastikan dari pemesanan rencong sepanjang tahun hanya untuk souvenir. "Toko sering pesan untuk souvenir, kalau ada pesanan untuk pejabat paling sampai setahunan," ujar pengrajin rencong, Dani, saat saya temui di tempat kerjanya, Mei 2013. 

Gampong Baet dikenal sebagai wilayah penghasil rencong utama di Aceh. Pengrajin menempah rencong untuk memenuhi permintaan wisatawan yang dibeli sebagai buah tangan.

Para kaum lelaki Gampong Baet Mesjid, menyelamatkan budaya Aceh dengan menjadi pengrajin rencong untuk meneruskan tradisi nenek moyang. Sekitaran 100 orang yang kini berprofesi sebagai pengrajin di Gampong Baet Mesjid. Masih ada dua desa lagi yang kaum lelakinya juga membuat rencong yaitu Gampong Baet Lam peuot dan Baet Meusagoe. 

Setelah berkunjung ke desa pengrajin rencong, saya mengetahui, benda pusaka ini kini dibuat dari berbagai barang bekas. Media tempat saya bekerja menolak sudut penulisan rencong dengan tema "rencong dari barang bekas". Mungkin dengan alasan tidak mau menjatuhkan citra benda ini yang memiliki nilai budaya. Beberapa teman jurnalis juga tidak setuju nasib rencong yang menjadi kebanggaan itu, saya jatuhkan maruahnya. Tetapi adakah yang peduli dengan keberlangsungan rencong dan murahnya upah para pengrajin? Sehingga mereka harus mengganti dengan semua barang bekas yang disulap menjadi bernilai dari segi ekonomi dan budaya. 
**

"Bahan kuningan untuk mata rencong saya beli di tukang butut dalam berbagai bentuk dan harus dileburkan lagi," kata Dani. 

Kemudian Kuningan ini dibawa pulang ke gampongnya, untuk dileburkan dan dicetak sesuai ukuran. Tempat cetak ya pun hanya ada di Gampong Baet tersebut. "Kuningan bekas kami beli perkilo Rp40 ribu. Sekilo paling dapat 10 mata rencong," jelasnya. 

Sementara gagang rencong terbuat dari tanduk kerbau, yang diperoleh Dani dari sejumlah pasar daging di Aceh Besar dan Banda Aceh. "Sepasang tanduk kerbau biasanya dijual dengan harga Rp30 ribu," ungkap lelaki yang telah berprofesi sebagai pengrajin sejak lulus SMA. Harga tersebut biasanya berukuran 30 hingga 40 cm dihuting dari panjang tanduknya. Bukan hanya gagang yang menggunakan tanduk, sarungnya pun 99 persen terbuat dari tanduk, sisanya dari lem dan plastik berwarna putih susu sebagai warna padanan warna. 
Plastik ini berasal dari AC bekas, Personal Komputer (PC) bekas dan Kibas Angin Bekas dengan warna putih sebagai pengganti gading gajah. Gading gajah sendiri sebagai lambang keperkasaan raja Aceh yang termasuk, Sultan Iskandar Muda. 

Dani mengaku, Ia tak pernah sepi pesanan dari beberapa toko souvenir di Banda Aceh. "Kami di sini kerja tergantung pesanan, kalau banyak yang pesan, kadang harus kerja hingga malam," ujarnya saat ditemui di tempat pembuatan rencong didepan rumahnya. Jika banyak even wisata dan budaya, Dani akan membuat rencong lebih banyak, terkadang dibantu oleh keponakannya untuk menghaluskan rencon tersebut. 

"Tahun ini pesanan agak sepi, pameran pun sudah kurang dari tahun-tahun sebelumnya," pungkas lelaki asli Baet, Aceh Besar ini. Memang harus begitu kehidupan para pengrajin, jika peminat benda asal Aceh saja diminati orang luar Aceh. [Yanti Oktiva]



1 komentar:

  1. Mameh that tulesan nyoe, kureung foto sagai nyak ti eee :D

    BalasHapus