Jumat, April 26

Menjadi Rasa Dalam Teh Kelat



Aku selalu bercerita tentang kopi, sepatu, pohon dan senja. Mereka semua analogi dari laki-laki yang ikut mengisi hatiku. Paling tidak sedikit saja seperti ikan. Biasanya tokoh yang kubuat memiliki ketergntungan bagi kita, manusia. Tapi mereka tidak hanya menjadi objek saja. Filosofi juga harus benar-benar mewakili sifat seseorang yang aku maksud.

Tapi aku menemukan seseorang yang tidak mengisi hatiku, sampai saat ini. Dia teman bermain dan belajar. Dialah orang yang selalu mengikuti perkembanganku dengan sejumlah laki-laki yang mengisi hati tadi. Ada sedikit kehilangan kalau tidak dapat bertemu dengannya. Aku pula orang yang menemani kegalauannya dengan perempuan yang dekat dengannya. Ya.. kami bisa dibilang kawan curhat. 

Dia bukan kategori kopi dengan karakter kuat. Bukan pohon yang bersifat pelindung dan bijak. Bukan sepatu yang aku butuhkan, bukan senja yang menjawab doa-doa. Dan bukan ikan yang bermain di dalam akuariumku. 

Dia teh. Jenis teh kelat manis yang harus diseruput di pagi hari. Dia tak memberi efek kafein yang berbahaya. Dia bagian dari pagi. Penyemangat menyambut hari. Penghangat dikala hujan. Sahabat saat menulis. Dan teman insomnia. 

Tepat hari ini, saat hujan rintik-rintik dan mendung menggelantung di awan, kami selisih paham. Aku sadar, akhir-akhir ini ego lelaki-nya muncul begitu saja. Apalagi di depan teman-temannya, yang cowok. Dia bukan orang yang dulu meladeni lawan bicaranya. Kini dia bicara dengan keinginan sendiri. Mungkin aku salah. Dia pergi mengejar senja, aku pulang diantara gerimis. Hingga mendung ini semakin mendratisir kesedihanku.

Yang harus aku tanyakan mengapa aku merasa sedih? Aku selalu berjalan sendiri tanpa kawan dekat. Padahal aku sudah terbiasa, harusnya tak menjadi masalah hanya gara-gara hujan. Lucunya aku sempat terfikir untuk punya niat untuk kawin (apa?). Karena aku tak punya lagi teman. Satu-satunya kawan yang selalu ada saat aku kehilangan hanya teh kelat manis ini.

Kini rasa teh tak lagi manis. Kelat tanpa gula, ia melupakan rasa.  Senada dengan langit gelap, antara mendung dan matahari yang terbenam. Kalut ini semakin lengkap saat bunga sedap malam menusuk penciuman. Bau tajam bunga ini terlalu mistik untuk dinikmati. kala senja dan saat sedih. Terlalu mendekat kepada kematian rasaku.

Aku sadari sejak dulu. Orang terdekat memang selalu meninggalkanku dengan cara-cara yang berbeda. Ada yang kuliah ke Belanda. Ada yang meninggalkan aku kawin dengan brondong. Ada juga yang sibuk ngurusin anak. Ada juga yang sedang mencari jati diri sambil menunggu tunangan selesai kuliah. Soulmate itu mungkin hanya boleh dinikmati sebentar. jika kelamaan akan hambar. Kalau selalu dekat akan mengurangi rasa.

Aku menganggap semua manusia di dunia ini punya kehidupan masing-masing. Mungkin aku tak bisa masuk, atau mereka ingin privasi dari orang seperti aku. Mereka punya kesibukan yang tidak ingin diganggu.
Atau aku yang ego tak ingin masuk bersamaan dengan orang lain. Waduh…. Aku kok posesif ya. Jadi kangen pengen ngeteh manis.

Mungkin aku harus menjadi jahe agar ia tak bosan hanya dengan rasa manisku saja. Atau aku harus menjadi mint, agar teh memiliki dua kepribadian, dingin dan hangat. Mungkin aku harus menjadi jeruk nipis untuk menemani peminum yang radang tenggorokan. Atau menjadi susu yang akan membuatmu mual.

Tetapi aku selalu ingin menjadi madu, menjadi pemanis untuk teh. seperti gula yang sudah tak disukainya. Pemanis adalah aku, menjadi diri sendiri saat berfungsi menjadi teman sejati untuk teh.

Jika menjaadi pemanispun tidak. Aku bersedia menjadi es yang mendinginkan panasmu. Menjadi biskuit yang turut menemani kebersamaanmu. Atau aku harus menjadi senja, saat kau minum, aku abadi dalam rasa kelat yang hangat?

0 komentar:

Posting Komentar