Minggu, Desember 2

begitulah syariah

Peraturan dilakukan tanpa memberikan informasi tentang kepentingan syariat itu sendiri kepada masyarakat luas. sebagai penegak syariat, WH hanya menjelaskan tatacara berpakaian sebagai seorang muslim saat razia sedang berlangsung. Setiap petugas ini melakukan aksi razia yang biasa digelar di depan Masjid Raya Baiturrahman, angka penggar yang ditangkap terus meningkat. anehnya, razia ditutup setelah koordinator lapangan diwawancarai oleh wartawan. padahal masih ada waktu satu jam lagi seperti yang terpampang pada papan informasi mereka.

Sementara itu, terlihat seorang petugas wanita yang berada di lokasi razia, memakai jilbab tanpa menutupi dadanya dan terlihat agak gaul. setelah seorang wartawan menyindir melalui pertanyaan saat mewawancara koordinatornya, barulah dia menurunkan jilbab untuk menutupi dada. Begitulah razia terakhir yang dilakukan WH pada tahun 2012.


Wanita di Aceh khususnya Banda Aceh tidak menutup aurat, tetapi hanya menutup kepala dengan pakaian yang serba ketat sesuai dengan trend dan model. 

Hal ini terjadi karena kurangnya ilmu agama pada mereka yang tidak mengerti manfaat dan identitas busana itu sendiri. Wanita yang bersekolah di pesantren identik dengan busana yang selalu menutup aurat. Karena mereka mengerti dan mendalami tentang identitas busana tersebut. Malu rasanya jika melepaskan jilbab panjang yang telah menutupi tubuh sejak kecil.


Mereka sadar betul bahwa busana muslim adalah identitas seorang muslimah. Dengan tidak menutup aurat, orang akan bertanya apakah seorang wanita tersebut seorang muslim ? 

Dengan tidak adanya bekal ilmu yang cukup, seorang muslim tentu akan mengabaikan dan terpengaruh apa yang lebih dikenalnya. Seperti seseorang menggilai merk yang dipakai seorang artis, apabila artis yang ia nilai 'keren', maka ia akan berkiblat. 

Contoh lain, demam film ketika cinta bertasbih. Model jilbab atau gamis yang kerap digunakan artis tersebut akan diikuti oleh masyarakat umum yang mengagumi film tersebut. 

Pengaruh seperti ini tergantung kepada tingkat pengetahuan seseorang dan minat kepada pakaian yang ia kenakan. Karena pakaian adalah cermin seseorang. Dengan demikian apa yang melekat pada diri kita baik pakaian  dan perilaku adalah identitas seseorang yang akan menjadi tolak ukur siapakah orang tersebut. 

Jika dalam penerapan syariah islam di Aceh hanya menegakkan peraturan tanpa menggalakkan apa tujuan dan mamfaat, maka akan sia-sia karena ini tidak datang datang dari keinginan masyarakat itu sendiri. 

Melalui ilmu pengetahuan agama tentang fikih berbusana misalnya, suatu usaha penyadaran kepada masyarakat melalui psikologi seseorang. Peraturan atau qanun syariah islam yang sekarang sudah berlaku hanya mengurus tentang perilaku yang tidak sesuai dengan seorang islam. 

Akar permasalahan dari pelanggaran perilaku adalah kurangnya ilmu sehingga orang tidak memiliki kebijaksanaan saat melakukan kesalahan. jika tidak cukup ilmu kita tidak menjadi kritis saat menjalankan sesuatu yang baru apalagi terpengaruh.

Apakah pemerintah akan selamanya mengurusi perilaku masyarakat Aceh saja. Tanpa ada analisa dan tolak ukur keberhasilan peraturan yang telah dibuat akan jauh dari keberhasilan. Apakah pernah pihak terkait mengevaluasi, mengapa busana muslim tidak berhasil di Aceh. Mungkin mereka kekurangan SDM atau dana untuk kelanjutan program.Sangsi yang telah ditetapkan dalam qanun pun tidak mengurangi pelanggaran dan tidak memberikan solusi. 

Berdasarkan perspektif sejarah, ulama adalah orang yang paling disegani di Aceh karena mampu menjadi human resource (humas) dikalangan masyarakat. Peran ulama seharusnya digunakan kembali dalam pendidikan dan sosial. Penanaman ilmu seperti yang telah dilakukan di dayah-dayah dan pesantren. Model pendidikan seperti ini paling efektif dilakukan di sekolah umum menjadi pelajaran tambahan di dalam kurikulum sekolah formal. 

Ilmu yang diserap ini akan mengubah perilaku seorang manusia untuk terhindar dari pelanggaran syariah yang ada dalam qanun saat ini. 

Jangankan pelanggaran korupsi, jinayah pun akan reda dengan sendirinya. Dengan penguatan akidah sejak kecil akan terhindar seseorang melakukan perilaku yang tidak sesuai dengan syariah yang sudah menjadi kebiasaan. 

Peran sosial dalam menegakkan syariah islam juga membawa pengaruh besar. Dalam budaya Aceh, Masyarakat menjadi kontrol sosial akan memberikan sangsi kepada pelanggar syariah. 

Peminum khamar misalnya, sangsi yang pernah berlaku dalam masyarakat dahulu dengan memberikan sangsi sosial kepada pelaku. Adanya larangan tidak menjabat tangan dengan seorang pemabuk adalah hinaan yang berpengaruh kepada psikologi pelaku. 

Kontrol sosial yang menjadi budaya ini telah dilakukan sejak lama di Aceh. Namun budaya tersebut hilang seiring dengan perkembangan jaman dan masyarakat menjadi apatis terhadap budaya dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. namun Simeulu melakukan hukuman sosial ini dengan menggiring pelaku penjual dan pemproses arak dengan membawa tuak keliling kampung. 

kembalikan Hamzah Fansuri

Aceh pernah menjadi pusat sastra dan agama pada abad ke-16 saat Iskandar Muda menjadi sultan. Sastrawan ternama Hamzah Fansuri merupakan orang yang paling berpengaruh dalam menuliskan karya-karya yang menjadi domentasi sejarah pada masa itu. 

"Saat ini Hamzah Fansuri hanya dilihat orang dari Tasawufnya, padahal ada bidang-bidang lain yanh dihasilkan oleh beliau," kata Hermansyah, Filolog, seorang pengkaji naskah kuno. Ia sangat menyayangkan, seharusnya karya seni seperti ini seharusnya menjadi kajian agar dapat dinikmati oleh generasi penerus. Hal tersebut disampaikan kepada wartawan di sela-sela acara workshop seni dalam rangkaian acara Piasan Seni Banda Aceh 2012.  

Hermansyah bersama teman-teman sastrawannya, saat ini sedang melakukan berbagai kegiatan agar Hamzah Fansuri ini dapat menjadi bapak kesusatraan melayu dan sebagai penyair modern. 

Mengapa sastra melayu? Karena pada masa itu, kata Hermansyah, bahasa melayu adalah bahasa kesatuan yang ada di Asia Tenggara. Selain itu sastra Aceh muncul saat masa Kolonial Belanda masuk ke tanah Aceh. Untuk merahasiakan segala informasi, penulis Aceh mulai menulis menggunakan bahasa Aceh dalam tulisan Arab-Melayu. Seperti yang dilakukan oleh Tgk. Chik Pante Kulu dengan karya nya Prang Sabi.



**
Hermansyah mengajak kepada seluruh sastrawan indonesia untuk menulis ulang sejarah lagi dengan mencantumnkan Hamzah Fansuri. 

"Permasalahan kita adalah kurangnya orang yang mau menulis untuk mendokumentasikan sejarah," ungkap Hermansyah. 

Ia mengatakan, harus ada semacam kebijakan untuk dapat melestarikan tentang sejarah Ache, dalam hal ini peran pemerintah. "Seharusnya sastra Aceh seperti ini memasukkan dalam kurikulum di sekolah-sekolah," harapnya. 

Namun saat ini masyarakat Aceh hampir tidak pernah mendengar karya-karya beliau lagi. Seiring dengan perkembangan zaman ilmu tasawuf hanya di pelajari oleh pesantren dan perguruan tinggi seperti IAIN yang mengisahkan peringatan dan nasehat
Lewat penghayatan spiritual. 

Hamzah Fansuri lewat tulisannya dapat melekatkan  syariat islam dengan pengaruh politik dan agama yang berasal dari Arab dan turki. 

Karya-karya Hamzah Fansuri pada abad ke-16 telah banyak mempengaruhi pesyair modern baik di Indonesia maupun Malaysia. Hamzah Fansuri yang kenal dengan karya-karya ilmu tasawuf dan akidah saja. Padahal masih ada bidang-bidang lainnya seperti sastra prosa, politik budaya dan seni. 

Pengkajian ini penting dan lembaga-lembaga harus lebih giat lagi mengangkat tokoh-tokoh lokal, dengan sendirinya syair-syair Aceh akan terangkat juga. 

" Orang Aceh dalam menlestarikan masih kurang, karena tidak mendapat apresiasi saat ini, padahal penulis telah banyak menciptakan karya-karya sastra dan budaya," kata Hermansyah