Jumat, November 23

Mahasiswa Tari Asal Autralia Belajar Seudati di Aceh


Sekumpulan mahasiswa Autralia melakukan study tour ke Banda Aceh untuk belajar tarian tradisional Aceh. Dalam waktu empat hari saja, mereka harus menguasai dua tarian yang amat rumit bagi mereka. Menurut mereka, Seudati merupakan tarian rumit dan memiliki sejarah dalam perkembangan sejarah didalamnya.
Siswa bersama dosen, Bachelor of  Contemporary Art (BCA) Dance, Deakin University, Meulbourne, mendatangi sanggar Leumpia untuk tarian Seudati dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Program Studi Kesenian Universitas Syiah Kuala, untuk tarian Rateep Meuseukat.
“Saya tertarik pada tari Seudati karena gerakannya berasal dari alam, tarian ini sangat tua dan memiliki unsur sejarah,” kata Dr. Sally, dosen tari. Berawal dari pertemuannya dengan seorang mahasiswa Aceh yang belajar di Autralia yang bernama Murtala. Sally banyak memperoleh informasi tentang tarian seudati dan filosfi yang ada didalam tarian tersebut. Murtala memberikan rekomendasi unutk bertemu langsung dengan seniman dan pembina sanggar, Zuflihermi, sanggar Leumpia yang terletak di komplek Taman Budaya, Banda Aceh.
Sally mengatakan, tarian di Indonesia memiliki jiwa dan orang-orang berkumpul untuk belajar bersama. Tarian-tarian di Indonesia sama halnya seperti yang ada di dunia, menjadi budaya dalam sejumlah perayaan dan acara-acara penting lainnya. Tidak sama seperti di Autralia, orang menari dengan menunjukkan keseksian tubuh penari tersebut.
Sally memilih Seudati dipelajari oleh mahasiswanya karena Seudati  merupakan tarian yang masih langka dipertontonkan di dunia Internasional. Orang hanya mengenal tarian dari Bali dan Jawa saja jika bicaraNegara Indonesia. Padahal Seudati, menurutnya, sangat menarik untuk dipelajari komposisi dan gerakan yang kesemuanya mengandung makna tersendiri.
Setelah Tsunami, banyak mahasiswa yang berasal dari Aceh mengambil beasiswa di negara kanguru itu. Mahasiwa-mahasiswa Aceh sering mempersembahkan tarian Likok Pulo dan Saman dalam kesempatan-kesempatan acara kampus mereka. Sally tidak pernah melihat ada mahasiswa Aceh yang mempersembahkan tarian Seudati. Belakangan ia baru tahu, tarian seudati sangat rumit dan susah dilakukan untuk pertukaran posisi dan gerakan. “Saya pikir ini adalah tantangan untuk mempelari Seudati secara langsung ke Aceh.”
Seudati memiliki Sembilan motif komposisi, didalam setiap motif memiliki beberapa gerakan lagi. Menurut Hermi, mereka hanya mengajarkan empat motif yang disebut rukun. Rukun yang telah berhasil mereka pelajari adalah Saleum Syahi, Likok, Saman, Esra dan Lani. Kelima rukun tersebut paling rumit dibandingkan keempat sisa rukun yang tidak dipelajari. Karena terkendala waktu, sehingga Hermi hanya mengajarkan 5 rukun saja yang sudah mewakili tarian Seudati.
Bahkan penari tersebut menyanyikan dua lagu di dalam tarian Seudati tersebut. Dalam rukun Esra, lagu Hajat di hate lon pula bungoeng. Selain itu penari ini juga menyanyikan lagu Bungoeng hai cupoe bungoeng yang di dalam gerakan rukun Lani sebagai penutup tarian. Salahuddin adalah Syahi, seorang syeh yang melantunkan lagu dalam tarian tersebut.
Terdiri dari enam wanita dan seorang laki-laki, mereka dipimpin oleh seorang Lani bernama Cut Yuja. Cut Yuja adalah asisten pak Helmi yang mengajarkan mahasiswa ini dari awal tarian itu dipelajari. Cut Yuja saat ini masih menjadi mahasiwa PDPK Unsyiah, mengaku sangat senang dapat mengajarkan penari asing tersebut. Ditemani Sona Anjana yang ikut bergabung mengajarkan tarian Seudati.
“Mereka hebat dalam menari, orang Aceh saja butuh waktu berbulan-bulan untuk menguasai tarian ini,” kata Hermi. Hermi bangga dengan keseriusan mahasiswa ini. Menurutnya, jika mereka belajar satu bulan, mungkin akan bias menandingi pakar tari di Aceh. “mungkin jika diajarkan tari Saman dapat mereka kuasai dalam dua hari.”
“Saya sangat senang dapat mempelajari Seudati, tarian ini lebih susah dibandingkan dengan Rateep Meusekat,” kata Catherine, salah seorang mahasiswa Deakin tersebut. Catherine dan teman-temannya sangat bahagia dapat memakai baju tradisional Aceh pada hari terakhir belajar tarian Seudati. Hermi menyediakan baju teradisional lengkap dengan jilbab seperti yang dikenakan orang Aceh. Bersama istrinya hermi mendadani mahasiswa ini layaknya dara baroe (pengantin).
“Saya pertama kali memakai baju tradisional, saya menjadi cantik hari ini dan ingin memakai setiap hari,” ungkap Catherine bangga. Sally mengatakan, mahasiswa tidak masalah membayar biaya untuk belajar menari. Di Autralia, mahasiswa dapat meminjam uang kepada pemerintah untuk keperluan belajar. Pinjaman tersebut dapat dibayar setelah mereka bekerja nantinya.
Pemerintah malah mengharuskan kepada mahasiswa untuk mengambil study tour ke Negara lain untuk mendapatkan pengalaman. Menurut Sally, mencari pengalaman amat penting, apalagi belajar tentang budaya-budaya yang ada diu dunia. Hal ini Karena letak geografis Negara tersebut yang terpisah dari dunia.
Sebenarnya Sally berencana akan menampilkan tarian Seudati yang telah mereka melajari di Yogyakarta nantinya. Namun mereka akan terkendala dengan masalah syair yang akan mengiringi tarian tersebut. Mereka memang hanya mempelajari tarian dalam gerakan dan tidak mempelari syair yang dibawakan oleh Syahi.
“Saya akan datang lagi tahun depan dengan group yang berbeda untuk belajar tari juga,” ungkap Sally. Sebelumnya Universitas Deakin mengunjungi India untuk study tour tari. Sally dan Hermi sangat bahagia dengan penampilan mahasiswanya. Sally sempat berkaca-kaca setelah tarian selesai ditampilkan.
Begitu pula halnya dengan Hermi sebagai pelatih, “Saya bahagia, sampai tidak bisa ngomong. Senang sekali,” ungkap Hermi. Hermi sudah mendirikan sanggar Leumpia ini sejak tahun 1985 lalu. Dia telah mengajarkan ratusan penari tradisional di sanggar Leumpia tersebut.




Selasa, November 13

Posisi Wali Dalam Sejarah Aceh



Banda Aceh - Terdapat tiga kurun waktu perwalian memimpin dalam sejarah Aceh dari zaman kesultanan, penjajahan Belanda hingga setelah kemerdekaan. Tugas dan posisi sebagai wali merupakan jabatan yang diangkat saat genting atau perang. Walaupun masih ada perdebatan fungsi dan tugas, publik dapat memahami sebutan wali melalui sejarah Aceh. Walaupun terdapat banyak perdebatan akan posisi Wali dalam pemerintah Aceh, sejarah adalah argumentasi yang tidak akan habis dibahas, seperti yang dikutip oleh Prof. Pieter Geyl, sejarawan asal Belanda.
Dalam buku ’Aceh Sepanjang Abad’ yang ditulis oleh Muhammad Said menyebutkan, Setelah Sultan Alaidin Mahmudsyah  mangkat pada saat memuncaknya pertempuran pada tahun 1874. Penunjukan Wali ul Mulkibagian yang penting dari segi politiknya, yang diselenggarakan dengan cepat oleh pihak Aceh adalah untuk mengganti sultan yang  sudah meninggal.  Saat itu Aceh memerlukan sultan yang tangguh dan berwibawa untuk melanjutkan perjuangan mengusir Belanda di Kuta raja. Semua mata tertuju pada Tuanku Hasyim Banta Muda sebagai lambang persatuan dan pimpinan yang berwibawa untuk mengendalikan pemerintahan dan rakyat. Namun Hasyim enggan menjadi seorang sultan, selama empat tahun  tokoh-tokoh Aceh menyakinkan Hasyim, tetapi tidak berhasil. Hingga pada tahun 1878 Hasyim menunjuk Tuanku Muhammad Dawod Syah yang masih berumur antara enam tahun sebagai Sultan sedangkan beliau bertindak sebagai Wali Negara dengan jabatan  mangkubumi ia berwenang bertindak atas nama sultan.
Namun Tuanku Hasyim banta tak dapat menolak menjadi wali Negara karena Sultan Alaidin Sulaiman Ali Iskandar masih kecil, dan Hasyim lebih memilih sebagai Wali Negara dan panglima perang untuk menghadapi Belanda di Sumatra Timur.  
Hasyim lebih senang turun ke lapangan untuk menghadapi musuh dari pada duduk bersila  di atas tahta kerajaan. Setelah pengangkatan Muhammad Dawod Syah sebagai Sultan dan bertindak sebagai Wali Negara merangkap Mangkubumi Tuanku Hasyim Banta Muda. Mereka pindah ke Keumala pada tahun 1879 dan menjadikannya  ibu kota Kerajaan Aceh yang kedua. 
Seperti ysng tertulis dalam ‘Aceh sepanjang Abad’ jilid 2, Belanda berusaha menghasut sultan dengan berbagai cara, untuk menggiatkan gerakan perlawanan melawan Belanda yang bertindak sebagai Wali Negaramengangkat: Pertama, Teungku Syekh Saman Di Tiro menjadi menteri perang, Kedua, Teuku Umar menjadi laksamana (amirullbahri). Dan ketiga. Panglima Nya' Maka menjadi panglima urusan Atjeh Timur.
Dalam Dokumen berupa salinan surat atau ‘Sarakata’ yang dikirim oleh Tuanku Mahmud, Tuanku raja Keumala dan Tuanku Panglima Polem memerintahkan para Ulama Tiro untuk berdamai dengan pemerintah Belanda. Surat tersebut ditulis di Kutaraja, Kampung Keudah pada 18 Rajab 1327 Hijriah yang bertepatan pada hari Kamis tanggal 5 Agustus 1909. Dokumen tersebut ditemukan oleh Kapten H. J. Schmidt  dalam kantong pakaian Tgk. Muat. Ia adalah seorang perwira belanda yang dapat berbahasa Aceh. Sedangkan Tgk. Muat adalah cucu dari Tgk. Chik Di Tiro yang diutus untuk mengantarkan surat tersebut.
Bahkan Ismail Ya’kop,  dalam  bukunyaTeungku Chik di Tiro : Hidup dan Perjuangannya’ yang dikeluarkan pada tahun 1943, dan sempat di bredel oleh penguasa Jepang saat itu, karena buku ini berhasil membangkitkan semangat anak muda Aceh melawan Jepang,  menuliskan kisah fitnah ini yang disebarkan oleh pihak intelijen Belanda sebagai berikut 
“Bahwa Teungku Syik di Tiro menegaskan  beberapa kali, baik dalam pidato sesudah sembahyang Jum'at ataupun pada nasehatnja kepada angkatan perang sabil'. Ia menerangkan tujuan perangnya, bukan mau berkuasa di Aceh, tetapi mau mengusir musuh untuk ibadat dan karena panggilan jiwanja. Ia mau hidup dibumi jang merdeka supaya bebas melakukan segala syari'at agama. Bila menang, menjadi mulia pada sisi Tuhan dan bila tewas akan mendapat sjurga tinggi daripada Tuhan. Keterangannja itu, kemudian ditegaskannja pula dalam suatu maklumat kepada rakjat sesudah dikeluarkannja maklumat tanda-tanda kemenangan barisan muslimin lebih dahulu.

"Berdasarkan Sarakata yang ditemukan Kapten Smhidt tersebut, Almalik Teungku di Tiro diangkat sebagai Wali untuk  menjadi pemimpin negara," kata Adli Abdullah, pemerhati sejarah dan akademisi hukum Unsyiah.

Kepada Rakyat Aceh, Adli menjelaskan, setelah masa kemerdekaan 1945, Daud Beureueh mengangkat dirinya menjadi Wali Negara saat pemberontakan DI/TII pada tanggal 21 September 1955. Beliau merupakan Wali negara yang pertama.
Dalam masa pemberontakan DI/TII, Tgk Daud Beureueh di kudeta oleh Hasan Saleh pada tanggal 15 Maret 1959 dimana dia bertindak selaku penguasa perang NBA NII ( Negara Bagian Aceh, Negara Islam Indonesia ) mengambil alih seluruh kekuasaan sipil dan militer dari tangan Daud Beureueh dan menyerahkan kepada Dewan Revolusi yang diketuai oleh Ayah Gani, dengan wakil ketuanya Hasan Saleh. Kemudian tahun 1959  timbul nama amir Husin Al Mujahid menjadi wali yang kedua. Tujuan beliau dijadikan wali untuk dapat mendamaikan Aceh dengan Republik Indonesia. Pada bulan Maret 1959, dalam sidang majelis syura yang dipimpin oleh Wali Negara Tgk Amir Husin Al Mujahid dengan suara terbanyak bahwa Aceh menuntut daerah Istimewa. Dan konsep politik Istimewa Aceh dalam ( Agama, Pendidikan dan adat istiadat ) Dewan Revolusi yang dipimpin Wali Negara Tgk Amir Husin Al Mujahid ini diakomodir oleh Pemerintah Pusat yang delegasi dipimpin oleh Mr. Hardi pada 26 Mei 1959, disetujuilah Aceh sebagai Daerah Istimewa dengan Surat Keputusan bertanggal 26 Mei 1959, Nomor 1/Missi.1959. dan baru diundangkan dengan UU No 44 1999 tentang keistimewaan Aceh.

seperti yang dituliskan Adli Abdullah dalam makalahnya, ‘Kajian Kritis Lembaga `Wali Nanggroe’, setelah damai Aceh dengan RI hilang istilah Wali negara sehingga muncul Hasan Tiro.  4 Desember 1976 gerakan Aceh dipoklamirkan di gunung Halimun, Pidie. 
Akhirnya, Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Mardeka memateraikan perjanjian damai di Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005. Sementara itu pada tahun 2001, Farhan Hamid melegalkan dalam UU No 18 istilah Wali ini. Kemudian sebutan Wali tersebut diadobsi dalam Memorendum of Understanding (MOU) Helsinki sebagai Lembaga adat dan pemersatu rakyat Aceh dalam Undang Undang Pemerintahan Aceh No 11 tahun 2006 keberadaan wali nanggroe di atur dalam pasal 96 sd 98.
Pada tanggal 2 November lalu DPRA telah melakukan pengesahan Racangan Qanun Lemabaga Wali Nanggore dalam sidang paripurna III di Gedung DPRA. Masyarakat Aceh tak sabar menunggu hasil evaluasi dan pengesahan oleh Mendagri.