Sekumpulan mahasiswa Autralia melakukan
study tour ke Banda Aceh untuk belajar tarian tradisional Aceh. Dalam waktu
empat hari saja, mereka harus menguasai dua tarian yang amat rumit bagi mereka.
Menurut mereka, Seudati merupakan
tarian rumit dan memiliki sejarah dalam perkembangan sejarah didalamnya.
Siswa bersama dosen, Bachelor of Contemporary Art (BCA) Dance, Deakin
University, Meulbourne, mendatangi sanggar Leumpia untuk tarian Seudati dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Program
Studi Kesenian Universitas Syiah Kuala, untuk
tarian Rateep Meuseukat.
“Saya tertarik pada tari Seudati karena gerakannya berasal dari
alam, tarian ini sangat tua dan memiliki unsur sejarah,” kata Dr. Sally, dosen
tari. Berawal dari pertemuannya dengan seorang mahasiswa Aceh yang belajar di
Autralia yang bernama Murtala. Sally banyak memperoleh informasi tentang tarian
seudati dan filosfi yang ada didalam tarian tersebut. Murtala memberikan
rekomendasi unutk bertemu langsung dengan seniman dan pembina sanggar, Zuflihermi,
sanggar Leumpia yang terletak di komplek Taman Budaya, Banda Aceh.
Sally mengatakan, tarian di Indonesia
memiliki jiwa dan orang-orang berkumpul untuk belajar bersama. Tarian-tarian di
Indonesia sama halnya seperti yang ada di dunia, menjadi budaya dalam sejumlah
perayaan dan acara-acara penting lainnya. Tidak sama seperti di Autralia, orang
menari dengan menunjukkan keseksian tubuh penari tersebut.
Sally memilih Seudati dipelajari oleh
mahasiswanya karena Seudati merupakan tarian
yang masih langka dipertontonkan di dunia Internasional. Orang hanya mengenal
tarian dari Bali dan Jawa saja jika bicaraNegara Indonesia. Padahal Seudati, menurutnya, sangat menarik untuk
dipelajari komposisi dan gerakan yang kesemuanya mengandung makna tersendiri.
Setelah Tsunami, banyak mahasiswa
yang berasal dari Aceh mengambil beasiswa di negara kanguru itu. Mahasiwa-mahasiswa
Aceh sering mempersembahkan tarian Likok
Pulo dan Saman dalam
kesempatan-kesempatan acara kampus mereka. Sally tidak pernah melihat ada
mahasiswa Aceh yang mempersembahkan tarian Seudati. Belakangan ia baru tahu,
tarian seudati sangat rumit dan susah dilakukan untuk pertukaran posisi dan
gerakan. “Saya pikir ini adalah tantangan untuk mempelari Seudati secara
langsung ke Aceh.”
Seudati memiliki Sembilan motif
komposisi, didalam setiap motif memiliki beberapa gerakan lagi. Menurut Hermi,
mereka hanya mengajarkan empat motif yang disebut rukun. Rukun yang telah
berhasil mereka pelajari adalah Saleum Syahi, Likok, Saman, Esra dan Lani.
Kelima rukun tersebut paling rumit dibandingkan keempat sisa rukun yang tidak
dipelajari. Karena terkendala waktu, sehingga Hermi hanya mengajarkan 5 rukun
saja yang sudah mewakili tarian Seudati.
Bahkan penari tersebut menyanyikan
dua lagu di dalam tarian Seudati tersebut. Dalam rukun Esra, lagu Hajat di hate lon
pula bungoeng. Selain itu penari ini juga menyanyikan lagu Bungoeng hai cupoe bungoeng yang di
dalam gerakan rukun Lani sebagai
penutup tarian. Salahuddin adalah Syahi, seorang syeh yang melantunkan lagu
dalam tarian tersebut.
Terdiri dari enam
wanita dan seorang laki-laki, mereka dipimpin oleh seorang Lani bernama Cut Yuja. Cut Yuja adalah asisten pak Helmi yang
mengajarkan mahasiswa ini dari awal tarian itu dipelajari. Cut Yuja saat ini
masih menjadi mahasiwa PDPK Unsyiah, mengaku sangat senang dapat mengajarkan
penari asing tersebut. Ditemani Sona Anjana yang ikut bergabung mengajarkan
tarian Seudati.
“Mereka hebat dalam menari, orang
Aceh saja butuh waktu berbulan-bulan untuk menguasai tarian ini,” kata Hermi.
Hermi bangga dengan keseriusan mahasiswa ini. Menurutnya, jika mereka belajar
satu bulan, mungkin akan bias menandingi pakar tari di Aceh. “mungkin jika
diajarkan tari Saman dapat mereka kuasai dalam dua hari.”
“Saya sangat senang dapat mempelajari
Seudati, tarian ini lebih susah dibandingkan dengan Rateep Meusekat,” kata Catherine, salah seorang mahasiswa Deakin tersebut.
Catherine dan teman-temannya sangat bahagia dapat memakai baju tradisional Aceh
pada hari terakhir belajar tarian Seudati. Hermi menyediakan baju teradisional
lengkap dengan jilbab seperti yang dikenakan orang Aceh. Bersama istrinya hermi
mendadani mahasiswa ini layaknya dara
baroe (pengantin).
“Saya pertama kali memakai baju
tradisional, saya menjadi cantik hari ini dan ingin memakai setiap hari,”
ungkap Catherine bangga. Sally mengatakan, mahasiswa tidak masalah membayar
biaya untuk belajar menari. Di Autralia, mahasiswa dapat meminjam uang kepada
pemerintah untuk keperluan belajar. Pinjaman tersebut dapat dibayar setelah
mereka bekerja nantinya.
Pemerintah malah mengharuskan kepada
mahasiswa untuk mengambil study tour ke Negara lain untuk mendapatkan
pengalaman. Menurut Sally, mencari pengalaman amat penting, apalagi belajar
tentang budaya-budaya yang ada diu dunia. Hal ini Karena letak geografis Negara
tersebut yang terpisah dari dunia.
Sebenarnya Sally berencana akan
menampilkan tarian Seudati yang telah mereka melajari di Yogyakarta nantinya. Namun
mereka akan terkendala dengan masalah syair yang akan mengiringi tarian
tersebut. Mereka memang hanya mempelajari tarian dalam gerakan dan tidak
mempelari syair yang dibawakan oleh Syahi.
“Saya akan datang lagi tahun depan
dengan group yang berbeda untuk belajar tari juga,” ungkap Sally. Sebelumnya
Universitas Deakin mengunjungi India untuk study tour tari. Sally dan Hermi
sangat bahagia dengan penampilan mahasiswanya. Sally sempat berkaca-kaca
setelah tarian selesai ditampilkan.
Begitu pula halnya dengan Hermi
sebagai pelatih, “Saya bahagia, sampai tidak bisa ngomong. Senang sekali,”
ungkap Hermi. Hermi sudah mendirikan sanggar Leumpia ini sejak tahun 1985 lalu.
Dia telah mengajarkan ratusan penari tradisional di sanggar Leumpia tersebut.